"Hello? Kau tidak apa-apa?" Pria itu kembali bertanya, saat melihat Aluna hanya bergeming menatapnya.
Aluna mengerjap, sepasang iris hazel itu tampak begitu tulus saat menanyakan keadaannya, Aluna bisa merasakannya. Dengan reflek Aluna langsung menarik lengannya dari genggaman pria itu begitu ia berhasil menguasai dirinya kembali. Dan kembali menundukkan wajahnya dengan gugup, seraya berkata.
"Saya tidak apa-apa, permisi." Tanpa mempedulikan kesopanannya, Aluna segera meninggalkan tempat itu.
##
Aluna buru-buru melangkah keluar, meninggalkan sumber yang membuatnya merasa tidak nyaman. Dan saat akhirnya ia berhasil menutup pintu di belakangnya, dengan reflek ia meraba dadanya, merasakan detak jantungnya yang menderu karena peristiwa mengejutkan beberapa saat lalu itu.
"Lun, kamu nggak kenapa-napa?"
Pertanyaan itu sontak menyeret kembali kesadaran Aluna yang sempat berlarian kemana-mana, seketika itu ia merasa gelagapan saat menemukan Cici masih berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir.
"A-aku baik-baik aja ko' bu." Wajah Aluna langsung menunduk, merasa tidak nyaman dengan tatapan penuh selidik yang atasannya itu berikan padanya.
"Uhh, kamu pasti gerogi ya abis di tolongin sama Pak Mesach tadi?" goda Cici dengan raut wajah yang tidak biasa. "Kamu mimpi apa sih Lun semalam bisa di pegang-pegang gitu sama Mesach? Astaga, kenapa bukan saya saja tadi yang pura-pura jatuh?"
Aluna sontak mengangkat pandangan, tak habis pikir dengan pemikiran wanita itu. Apa Cici tidak bisa membedakan mana yang pura-pura dan mana yang sungguhan? Bahkan kalau boleh di kata, Aluna tidak akan keberatan untuk bisa menukar posisinya dengan siapapun itu, asalkan ia tidak perlu bersinggungan lagi dengan pria itu.
"Ka-kakiku benar-benar tersandung, Bu. Aku tidak bermaksud...."
Aluna belum menyelesaikan ucapannya, namun Cici yang merasa yakin pada pemikirannya sendiri, tidak lagi mau mendengar apapun yang Aluna katakan. Wanita itu kemudian menepuk bahu Aluna sembari menyunggingkan senyuman yang teramat menyebalkan layaknya ia yang paling tahu.
"Sudahlah, saya paham ko. Kayak saya nggak pernah muda saja!"
Usai mengatakan kalimat itu, Cici kemudian meninggalkan Aluna begitu saja.
Sementara Aluna sendiri, yang masih terguncang memilih menuju toilet alih-alih kembali ke kubikelnya. Memasuki toilet, embusan nafas lega ia keluarkan seraya menatap cermin di hadapannya. Air matanya yang ia tekankan sedari tadi kini mulai memenuhi setiap sudut netranya, Aluna kemudian menyentuh wajahnya, bersamaan dengan bulir bening yang tumpah membasahi pipinya. Aluna merasa bersyukur karena wajah ini ... pria itu dan bahkan semua orang yang telah memberinya luka di masa lalu, tidak bisa lagi mengenalinya.
Sejurus kemudian, Aluna menyalakan keran dan beberapa kali membasuh wajahnya yang kuyu dengan air. Sekali lagi, ia menatap bayangannya di cermin, memastikan posisinya untuk tetap aman. Seharusnya tak ada lagi yang perlu ia khawatirkan, seharusnya wajah ini membuatnya merasa terlindungi dari orang-orang yang pernah membuatnya tersakiti. Tapi bagaimana, karena luka masa lalu itu nyatanya masih menganga bahkan di saat ia terus mencoba tekankan keberadaanya. Dan pertemuannya kembali dengan pria itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa sejauh apapun ia melangkah nyatanya luka itu masih menjadi ketakutan terbesar di hidupnya, yang mana membuatnya tidak pernah lupa pada kehilangan terbesar yang pernah ia alami, dan pria itulah penyebabnya.
Usai menetralkan dentuman keras di rongga dadanya, dan mengusir kekalutan yang merundung jiwanya, Aluna kemudian menghela langkah menuju kubikelnya. Dia sudah membuat keputusan beberapa saat lalu, dan dia yakin jika keputusannya tersebut adalah hal yang sangat tepat-yang harus ia lakukan sebelum semuanya terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET DESTINY
RomanceDewasa 21+ Kesalahan tak sengajanya bersama pria itu berhasil menjungkirbalikkan kehidupan seorang Aluna. Dunianya yang sempurna pun harus runtuh saat itu juga, tak hanya kehilangan cinta sang kekasih saja, Aluna pun juga harus rela kehilangan jaban...