Bab 13

4.6K 469 57
                                    

Aluna masih jelas mengingat, saat Sean lebih mempercayai ucapan si gila itu--yang mengatakan kalau anak yang di kandungnya adalah anaknya--di bandingkan ucapan dirinya. Dia juga diam saja saat tuduhan-tuduhan itu di lemparkan padanya.

Bahkan bisa di katakan kesalahan Sean di hidup Aluna jauh lebih besar di bandingkan yang telah ayah tirinya lakukan. Bagaimana tidak, dulu Sean pernah mengulurkan tangan padanya disaat dunia meninggalkannya, tapi ketika Aluna menyambutnya Sean justru melepaskannya tepat di sisi jurang curam yang membuat Aluna terpelosok kedalamnya.

Jadi jelas, memilih tetap merahasiakan identitas adalah suatu keputusan yang benar, dan Aluna tidak akan menyesal telah melakukannya.

##

Sean berjalan mondar mandir di dalam rumahnya, berulang kali ia mengecek arloji di tangan hanya untuk memastikan keterlambatan seseorang. Dia kesal, seharusnya satu jam lalu wanita itu sudah datang menemuinya. Apa Aluna sedang mencoba menguji kesabarannya?

Sean memang tidaklah sama dengan kakaknya, yang rela melakukan apapun demi mendapatkan Kinara. Namun, entah mengapa sekarang ia merasa ingin melakukan cara kotor sekalipun agar wanita itu tidak menganggap remeh ancamannya. Tidak, tapi Sean ingin Aluna ada di sini, dia membutuhkannya, bukan hanya sebagai penyalur kebutuhan biologisnya saja tapi rasa penasarannya pada wanita itu yang membuatnya tidak tenang. Sumpah mati Aluna sudah membuatnya penasaran.

Sean akan menungguinya 10 menit lagi, jika wanita itu tidak muncul juga maka jangan salahkan Sean jika malam ini juga dia yang akan datang langsung ke rumahnya. Lagi pula bukankah Sean sudah membeli Aluna dengan harga yang luar biasa mahal? Bahkan jika ia kejam, ia bisa saja memberi aturan kalau Aluna tidak bisa menghirup udara dengan bebas tanpa seijin darinya.

Tapi 2 menit sebelum waktu yang di berikannya habis, ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Sean yang berdiri di dekat-dekat sana dengan segera membukanya, dan berdirilah wanita itu disana, dengan hanya memakai celana panjang pipa warna hitam serta kaos coklat yang di balut kardigan warna mustard.

Sean mengangkat sebelah alisnya, menelusuri penampilan sederhana wanita itu, yang jauh berbeda dengan penampilannya di malam itu. Sean buru-buru berdekham, mengusir bayangan-bayangan mesum yang mulai kembali menari-nari di kepalanya.

"Masuk!" titahnya dengan suara yang mendadak terdengar parau.

Aluna mengerjap, tanpa membantah ia menuruti perintah Sean.

"Kau...." Alih-alih bersikap cool seperti yang ia niatkan, namun suara serak itu lagi-lagi keluar dari mulutnya. Kembali berdekham untuk menjaga wibawa, ia pun berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursinya.

"Kau terlambat satu jam! Sekarang temani aku makan, perutku sudah kelaparan sejak tadi."

Aluna masih tidak menimpali, namun ia menempatkan dirinya berdiri di sekitar meja makan, tidak ingin membuat Sean marah hanya karena ia menjaga jarak terlalu jauh dengannya seperti tadi siang.

"Duduk!"

Dan saat titah dingin itu di arahkan padanya, Aluna pun kembali mematuhinya. Meja makan itu berbentuk persegi panjang, dan hanya terdapat 6 buah kursi yang mengelilinginya. Mulanya Aluna akan menempati kursi yang berseberangan dengan pria itu, namun rupanya Sean sudah mempersiapkan semuanya, pria itu menarik kursi di sisi kanannya pada Aluna, dan dengan ragu akhirnya Aluna pun mendudukinya.

"Kau sudah makan?" tanya Sean sembari menyentong nasi ke piringnya. Sean sudah meminta pelayan untuk menyiapkan makanan itu sebelum memintanya untuk meninggalkan tempat itu.

"Sudah," jawab Aluna pelan dan singkat. Ia bahkan tidak mau mengangkat wajahnya.

Sean mendengkus kesal. "Bagus! Disini aku menunggumu sampai kelaparan dan kau ternyata sudah makan disana!"

SWEET DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang