Bab 22

4.9K 480 63
                                    

Ya Tuhan, dia pasti sudah gila!

Tepat disaat kegalauan itu melanda, salah satu orang yang di tugaskan untuk mengikuti Aluna mengiriminya foto-foto Aluna bersama seorang pria, sepertinya itu di ambil saat semalam. Sean mengernyit menyadari siapa sosok pria yang berada di dalam foto itu. Alex.

Apa yang pria itu lakukan bersama Aluna? Apa mereka juga saling mengenal? Ataukah Alex adalah salah satu pelanggan Aluna? Dan apakah Aluna menolaknya semalam karena ia sudah janjian dengan Alex? Sial!

Sean terpejam, rahang kokohnya mengatup rapat. Seketika pemikiran itu membuat ia ingin marah. Sejurus kemudian, ia langsung mengendarai mobilnya menuju rumah Aluna.

Dia mengetuk, namun pintu itu tidak juga di buka. Sean tahu dari anak buahnya Aluna sedang berada di dalam, dan wanita itu pasti sengaja tidak membuka pintu karena sudah mengetahui kedatangannya.

Sementara, di lain pihak Aluna yang mendengar suara pintu di ketuk, langsung mengintip dari jendela, dan ia sontak terkejut saat melihat kemunculan Sean di depan pintunya. Ia baru saja menidurkan Kenzho yang sedang sakit, dan Mita seperti biasa sedang mengirim pesanan kue ke tetangga. Jadi, di rumah hanya ada dirinya dan Kenzho. Otomatis, ia menjadi panik sendiri, kemunculan Sean di rumahnya membuatnya terkejut sekaligus takut, bagaimanapun juga Sean tidak boleh melihat Kenzho, takutnya sekali melihat bocah itu Sean bisa langsung mengenalinya--mengingat wajah mereka tak ada bedanya.

"Aku tahu kau ada di dalam, dan aku tidak akan pergi sebelum kau membuka pintu!"

Seruan Sean itu membuat Aluna gemetaran. Dia tahu, pria itu pantang menyerah. Jika ia tidak segera membuka pintu itu, maka besar kemungkinan gedoran-gedoran di pintunya akan menarik perhatian para tetangga, dan Aluna tidak ingin hal itu sampai terjadi, ia tidak mau orang-orang itu nantinya akan berpikir macam-macam tentangnya.

Sekali hentak, Aluna membukanya. Dia lalu memberikan Sean tatapan yang luar biasa kesal, yang mana langsung membuat Sean membeku di tempat.

"Astaga, apa seperti ini sikap terhormat seorang Brawijaya? Bertamu ke rumah orang lain bersikap layaknya rentenir yang ingin menagih hutang!" kata Aluna tajam, yang kemudian langsung ia sesali.

"Aku kemari memang untuk menagih hutang, ku harap kau tidak lupa dengan hutangmu padaku!" jawab Sean tegas, kemudian tersenyum senang saat melihat wajah Aluna merona.

"Ta-tapi Anda adalah seorang pria terpelajar, Anda tidak seharusnya menggedor-gedor rumah orang lain seperti itu!" Aluna tidak mau kalah, mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang.

"Itu karena sejak semalam kau selalu saja menghindariku dan bahkan hari ini kau pun tidak berangkat ke kantor." Tuntut Sean, tanpa aba-aba ia menerobos masuk ke ruang tamu rumah Aluna yang mungil, lalu duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu.

Aluna menganga tak percaya, dengan gelisah ia berulang kali melihat ke arah pintu kamar, berharap anaknya tidak terbangun karena suara mereka.

"Anak saya sakit, dia demam sejak semalam, jadi pagi ini saya minta izin untuk tidak masuk kerja," sahut Aluna, sembari menatap Sean dengan wajah lelah.

Sean terdiam, dia nampak memahami alasan Aluna, tapi sedetik kemudian wajahnya kembali mengeras. "Tapi itu bukan alasan untuk kau tidak membalas pesanku dan juga mematikan ponsel!"

Tangan Aluna mengepal, ia menarik nafas panjang sembari berusaha untuk tetap tenang. "Semalam ponsel saya jatuh dan mati total, saya juga menghubungi kantor dengan ponsel milik ibu, apa Anda sudah puas dengan jawaban yang saya berikan?"

Sean tidak langsung menjawab, ia menatap tajam Aluna seakan ingin menyelami isi pikiran wanita itu, untuk mencari kebohongan di sana, yang mana tidak ia temukan.

SWEET DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang