LTL || Part 2

579 44 3
                                    

Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah di jendela sang pemilik kamar. Juga suara kicauan burung yang tanpa sengaja membuatnya terbangun dari tidur lelapnya. Matanya  menjadi amat berat, dan sedikit terasa sakit karena bengkak. Akibat dia menangis semalaman.

Hanya terdengar lenguhan dari mulut Valenzi. Dia segera bangun dan membuka pintu balkon yang terhubung dengan kamarnya. Dia menghirup udara segar di pagi hari yang menenangkan.

"Pusing banget kepala gue," ucapnya bermonolog. Sembari menutup kembali pintu balkon, dirinya berjalan mengarah menuju kamar mandi.

Dia terus berjalan ke arah kamar mandi, dengan sesekali memegangi kepalanya yang sakit.

Saat Valenzi membuka pintu kamarnya, di sana sudah terlihat Diana yang berdiri ragu di depan pintu. Keduanya terkejut, dan saling menatap beberapa detik.

"Sarapannya udah siap, Sayang," ucap Diana. Valenzi mengangguk, dan berjalan mengekorinya.

Di meja makan, tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar dentingan suara sendok yang beradu dengan piring. Kedua orang tua Valenzi lebih memilih untuk diam, membiarkan putrinya berdamai dengan takdirnya dulu.

Valenzi mendongak menatap kedua orang tuanya sekilas. Hatinya remuk kala harus mengingat kejadian kemarin malam.

Daripada terus bergelut dengan keheningan semakin lama, Valenzi mempercepat makannya dan segera pergi dari meja makan.

"Nasib gue gini amat, ya. Dijodohin sama orang yang bahkan gak gue kenal, tau mukanya aja enggak," gumamnya.

Valenzi menghembuskan nafasnya kasar. Dia tahu yang sedang dialami kedua orang tuanya. Perusahaan sudah diambang kebangkrutan, atau malah sekarang sudah bangkrut. Dia berjalan meraih kursi beroda di depan meja belajarnya, mendorongnya sampai ke depan jendela.

Valenzi kembali merenungi takdirnya. Takdir yang sudah digariskan yang Kuasa sedemikian rupa untuknya. Mencoba menerima semua pemberian yang Kuasa dengan perantara semesta. Sulit, tapi dia selalu memiliki kesempatan untuk menjalaninya. Dia tidak harus membenci semesta ataupun orang tuanya. Dia amat tahu jika orang tuanya jelas memikirkan nasibnya akan bagaimana.

"Pa ..., Zizi bahkan tidak bicara apa-apa sama kita, Papa masih yakin?" kata Diana dengan suara yang sudah bergetar. Setelah kepergian Valenzi yang tanpa mengucap sepatah katapun itu, membuat hati Diana perih. Tidak pernah Valenzi mendiamkannya seperti ini.

"Tidak ada cara lain, Ma. Papa seperti ini juga untuk kebaikan kalian, kebaikan kita, Ma."

"Zizi ..., bangun, Sayang. Udah sore," ucap Diana.

Valenzi menngerang pelan, dan membuka matanya sedikit demi sedikit. Dia semakin merasa kepalanya benar-benar sakit, pun matanya yang semakin terasa berat. Rasanya dia tidak menangis sebelum ia tertidur di kasur ini, tapi kenapa matanya semakin bengkak?

"Bangun, Nak. Mandi, setelah itu dandan yang cantik. Mama tunggu di bawah, ya."

Valenzi menatap Diana dengan tatapan tidak mengerti.

"Acara makan malam sama calon suami kamu, Nak."

Diana mengusap bahu Valenzi sejenak, sebelum ia memutuskan untuk pergi. "Sayang, ngertiin papa, ya?"

Diana mati-matian menahan desakan air mata yang sudah di pelupuk. Dia tetap memaksakan senyum di wajahnya, agar putrinya juga merasa kuat menanggung beban yang seharusnya bukan untuk dirinya.

Valenzi menatap punggung Diana yang semakin menjauh darinya.

"Apa gue harus ikut, ya?" gumamnya.

Love To LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang