LTL || Part 26

348 14 0
                                    

Secarik kertas yang dia temukan di ruangan Raka, membuat Valenzi semakin memikirkan yang tidak-tidak. Dia semakin merasa frustrasi dan merasa jika Raka benar-benar menduakannya.

Pagi ini, Raka sudah berangkat. Dan lagi-lagi, tanpa pamit ataupun memberitahunya.

Valenzi masih terdiam di kamarnya. Entah apa yang harus dia lakukan. Hatinya sakit, namun, dia belum memiliki alasan untuknya menangis.

Valenzi memegang kertas itu, kembali membacanya. Semakin dia lihat, semakin sakit pula hatinya. Apa itu alasannya kemarin malam Raka meninggalkannya hingga tidur sendirian?

Apa perasaan Raka untuknya semakin sirna, dan justru malah sudah pudar? Apa Raka tidak peduli lagi dengan kehamilannya? Anaknya sendiri? Darah dagingnya?

Valenzi hanya bisa mengusap lembut perutnya. "Yang kuat ya, Nak. Mama janji, Mama akan perjuangin kamu. Kamu juga harus kuat, kita harus bahagia," gumamnya.

🍁

Semakin hari kandungan Valenzi bertambah besar, itu artinya, dalam waktu yang tidak lama lagi, dia akan melahirkan, melahirkan buah hatinya dengan Raka. Akan tetapi, Raka semakin hari, seolah semakin tidak pernah memerdulikannya. Tidak pernah ada perhatian yang istimewa lagi kepadanya, Raka yang sekarang, dia selalu mementingkan pekerjaannya.

Valenzi seperti tidak pernah lagi nyata di matanya. Rasa sakit yang dia rasa kali ini, lebih sakit dibandingkan menghadapi sikap kasar Raka.

Rasa ingin bercerita kepada orang lain, terus saja bermunculan di hati dan otaknya. Namun, hati kecilnya selalu menyuruh agar dia simpan rapat-rapat soal hal ini.

Semakin hari Raka sering bolak-balik ke Paris, dan yang membuat Valenzi sakit hati adalah Raka ke Paris berdua bersama Tasya. Meskipun dia hanya sekertarisnya, tapi pesan dan foto yang selalu bermunculan di ponselnya. Seolah menjelaskan jika Tasya dan Raka bukan hanya sekedar sekertaris dan atasan.

"Mba Zizi, makan dulu, ya. Saya sudah siapkan makan malam."

"Iya, Mba."

Setiap hari, Valenzi sarapan, hingga makan malam ditemani mba Marni. Raka, hanya sesekali, dan bisa dihitung jari. Kesibukannya benar-benar membuat Raka lupa dengan Valenzi.

"Mba Zizi, makanannya harus habis, biar dede bayinya kuat kayak saya," kekeh mba Marni. Niatnya hanya memecah keheningan diantara mereka. Valenzi terus terdiam sembari menyuapkan makanannya.

"Mba Marni bisa aja," kekehnya.

"Mba ..., hari ini, Mba Marni pulang aja ya, Mba. Kasian keluarga di rumah."

Mba Marni menggeleng. "Enggak, Mba Zizi. Saya akan tetap menemani Mba Zizi selagi pak Raka keluar."

Kali ini, Valenzi menggeleng tegas. "Malam ini, Raka pulang, Mba. Jadi, Mba pulang aja, ya," mohonnya.

Antara tak enak hati dan tak tega, mba Marni mengangguk patah-patah mengiyakan ucapan Valenzi.

Mba Marni pamit setelah membereskan meja makan.

Malam ini pula, Valenzi bisa dengan leluasa mebgeluarkan tangisnya. Mengeluarkan kekesalannya, mengeluarkan segala hal menyedihkan yang selama ini dia sembunyikan. Malam yang semakin larut, tak kunjung menyurutkan air mata Valenzi. Apalagi, dengan ditambah fakta bahwa dia kembali menerima pesan yang disertai foto Tasya bersama Raka, di Paris.

Love To LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang