LTL || Part 27

387 19 1
                                    

Bulan demi bulan berganti, waktu melahirkan pun rasanya sudah ada di depan mata. Namun, adakah rasa sesal yang Raka rasakan?

Valenzi berdiri memegang perutnya yang semakin membesar, juga punggungnya. Valenzi menatap kosong ke luar jendela besar di dalam kamarnya. Hanya ada sapaan selamat pagi, hingga malam untuknya juga bayinya.

Memang, rasanya sudah lebih dari cukup dibandingkan dengan kehidupannya bertahun-tahun lalu. Namun, bukankah dia harus bertanya kapan jadwal check up? Sepertinya, ingat pun tidak.

Valenzi tersenyum simpul. Dia menunduk, meratapi perutnya yang membesar. Bukan seperti ini yang dia harapkan.

Raka semakin sering meninggalkannya, entah ke kantor lebih pagi, ataupun pulang larut. Bahkan, tak jarang Raka pergi ke Paris tanpa berpamitan dengan Valenzi. Dia selalu mengulas senyum saat Raka mengeluh menyesal.

"Mba, Zizi. Ayo!" Valenzi menoleh, sebelumnya, dia mengusap jejak air matanya.

Valenzi memutar badannya dengan hati-hati. Dia meniti anak tangga, dipapah oleh mba Marni. Ya, selama ini, hanya mba Marni yang selalu menemani masa kehamilannya, yang selalu menemaninya setiap kali check up.

"Loh, Zi. Gak sama Raka lagi?"

Valenzi menggeleng pelan, lalu tersenyum hangat. Dokter Aruni menggeleng heran, sebelum memeriksa kandungan Valenzi.

Ruangan serba berwarna cream, dengan temperatur AC yang pas, pun dengan suasana yang menenangkan, membuat Valenzi selalu lebih rileks.

Dokter Aruni mengecek monitor laptopnya, mengecek salinan check up bulanan milik Valenzi. Namun, beberapa saat kemudian, kerutan dahi dokter Aruni semakin dalam.

"Zi ..., kamu telat makan?" Valenzi sedikit menimang pertanyaan dokter Aruni. Namun, beberapa saat kemudian, dia menggeleng.

"Kamu pernah jatuh?" Valenzi kembali menggeleng.

"Kamu stres?" Valenzi kembali menimang. "Kayaknya sih, Dok."

Dokter Aruni menggigiti ibu jarinya. Seolah tengah melihat sesuatu yang tidak baik.

Valenzi mengernyit, sesaat kemudian, dia mengusap perutnya yang sudah membesar. Doanya adalah, agar tidak terjadi apa-apa dengan bayinya.

"Resiko kehamilan kamu makin tinggi, Zi. Dulu, saya kira pendarahan kamu itu pendarahan biasa, tapi kali ini ternyata itu pendarahan serius."

Valenzi meremas ujung bajunya. Rasa cemas seketika menyelimuti dirinya.

"Tapi, jika kamu melaksanakan apa yang saya perintahkan, seharusnya tidak terjadi seperti ini."

Dokter Aruni menatap tepat ke arah manik mata Valenzi. "Kamu tetap akan menyembunyikan ini semua?"

Valenzi menggigit bibir bawahnya. Kemudian mengangguk lemah. Di seberang terdengar helaan napas berat dari dokter Aruni. Sudah berulang kali sejak Valenzi mengalami pendarahan pertama, dia memperingatkan Valenzi untuk memberitahu Raka, namun, Valenzi menolak. Alasannya, dia tidak mau mengganggu suaminya bekerja.

Valenzi menutup pintu kayu bercat putih, ruangan dokter Aruni. Mba Marni yang sedari tadi menunggu Valenzi selesai check up, berjalan cepat menghampiri Valenzi yang terlihat di depan pintu.

Love To LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang