LTL || Part 17

463 23 0
                                    

Sekeras-kerasnya batu, jika ditetesi air terus-menerus, juga akan rapuh. Pun dengan hati manusia yang dihadapi dengan kesabaran dan ketulusan, pasti akan luluh.

Tembok batu yang sudah dia bangun sejak belasan tahun lalu, kini runtuh sudah karena seseorang yang mampu membuatnya berjuang. Seorang wanita yang mampu membuatnya sadar dan menyesal.

Mereka berdua tertahan untuk beberapa saat. Di dalam dekapan, Valenzi tak henti-hentinya mengucap syukur. Betapa bahagianya dia, atas apa yang selama ini ia rasakan.

Tidak ada yang tidak mungkin, pun dengan meluluhkan hati seorang Raka, suaminya.

"Lo mau denger sesuatu, gak?" Valenzi mengangguk di balik dada bidang Raka.

"Akhir-akhir ini, gue sempet pergi ke psikiater--"

"Kamu gila?" potong Valenzi.

Raka menekan dagunya di atas kepala Valenzi. "Iya. Lo sih, bikin gue gila."

"Apa sih, Raka. Bisa fokus ke cerita aja, gak?" timpal Valenzi. Bukan apa-apa, tapi dia tidak akan membiarkan Raka mendengar detak jantungnya yang menjadi lebih cepat sekarang.

"Gue cuma konsultasi aja, sih. Takutnya gue gila beneran. Awalnya gue kira dokternya bohong."

"Bohong?"

Raka mengangguk. "Kata dokter, gue gak boleh benci sama diri gue sendiri, dan ....," ucap Raka. Dia sengaja menggantungkan ucapannya, agar Valenzi merespon.

"Dan ...."

"Love herself," lanjut Raka. Sembari menatap lurus ke depan. Seolah mengingat kejadian hari itu. Dimana saat malam tiba, dia justru membentak Valenzi.

"Seriusan? Aku mau bilang terimakasih ah, sama dokternya."

Raka mengangguk. "Harusnya bilang terimakasih sama gue."

"Terimakasih, Raka. Makasih udah bikin hidup aku penuh warna," ucap Valenzi.

Raka melepas pelukannya. "Bukannya hitam putih, ya?"

Valenzi mengangguk. Lalu sedetik kemudian kembali merengkuh tubuh Raka. "Zizi jadi manja, ya?"

Raka mengusap puncak kepala Valenzi. Demi apapun, saat ini jantungnya berdegup sangat cepat. Tangannya pun sedikit berkeringat. Masa bodoh dengan Valenzi yang mendengar degup jantungnya.

Di sisi lain, Valenzi justru ikut berdebar, ketika telinganya tepat berada di dada Raka. Degup jantung Raka yang terdengar jelas di telinga Valenzi, membuatnya turut gugup.

"E ..., ceritanya?" tanya Valenzi.

"Tadi sampe mana, ya?"

"Yang dokternya bilang love herself," jawab Valenzi. Raka mengangguk singkat. Dagunya masih setia bertumpu pada puncak kepala Valenzi. Andai sejak dulu mereka sedekat ini, sampai-sampai tidak ada celah sedikitpun yang terlihat.

"Malemnya, gue gak tau harus apa. Dan, gue malah bentak lo," ucap Raka melemah. Untuk sekedar mengingatnya saja dia rasanya sudah enggan. Kali ini, dia benar-benar tidak akan melukai hati wanitanya, lagi.

Valenzi tersenyum kecut. Meskipun lukanya sudah sembuh, dan kembali utuh meski tidak begitu sempurna. Yang Raka rasakan hanyalah penyesalan yang tidak berujung.

Hati Valenzi terluka. Tapi jelas Raka lah yang lebih terluka di banding dirinya. Luka yang ada di dalam hati Valenzi, tidak akan pernah bisa menjadi pembanding dengan luka hati Raka, di masa lalu.

Love To LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang