Perjuangan sia-sia, pengorbanan yang semu dan sirna. Begitu yang Valenzi rasakan. Kasar, tidak peduli, dan tidak ada sedikitpun waktu yang diluangkan. Adalah sebuah penyesalan besar bagi Raka. Hidupnya lagi-lagi dibuat hancur oleh dirinya sendiri.
Bukankah belasan tahun yang menyiksa adalah satu-satunya kehilangan yang paling menyakitkan dan menyiksa? Kenapa hari itu kembali datang? Kenapa rasanya begitu mirip? Sama-sama menyakitkan dengan penyesalan yang tidak akan pernah berujung.
Hanya diperjuangkan, tanpa mau membalas perjuangan. Mendapatkan pengorbanan, tanpa mau membalas pengorbanan. Raka membenci dirinya sendiri.
"Wanita tua itu ..., dia pembohong!" pekiknya.
Suaranya parau. Bahkan dia tak kuasa lagi untuk berkata-kata. Seakan-akan dia membenci ucapannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Valenzi. Dan sekarang, hal itu pun terjadi padanya. Dia pun membenci mulutnya, kata-katanya yang melontarkan kata-kata menyakitkan untuk Valenzi.
Jantungnya berdegup cepat. Entah sudah berapa kali dia berteriak. Meneriaki kebodohannya.
Kenapa dia baru menyadarinya setelah 1 tahun mereka menjalin hubungan ini?Kenapa selama ini Raka tak pernah sedikitpun memperlakukan istrinya dengan baik? Dan kenapa dia sangat menyesalinya saat ini?
Raka beranjak keluar dari ruang pantau, setelah berdiam di sana selama hampir 2 jam.
Apa mungkin dia harus merelakan Valenzi?
Raka pergi ke kamar. Kamar tempat Valenzi mengurung dirinya seharian jika dia tinggal bekerja.
Tempat Valenzi menumpahkan segala sedih dan tangisnya.
Raka menatap nanar kasur yang sudah rapi. Ruangan ini pun sama rapinya.
Raka berjalan mendekat ke arah kasur.
Beberapa detik, Raka mengernyit. 'Dia baru mendapatkan telepon,' batinnya.
Tidak perlu menunggu untuk berpikir, Raka segera berbalik dan berjalan cepat menuju ruang kerjanya.
Raka melihat gagang telepon terbalik. Kabel teleponnya seharusnya berada di bawah, bukan di atas telepon.
Raka mengecek data dari telepon di kamarnya. Siapa terkahir kali yang Valenzi telepon.
Tangan dan matanya seirama mengerahkan tenaganya untuk mengetik dan meneliti sesuatu di komputer.
Terkahir kali dia menerima telepon tadi pagi pukul 5.00. Semakin mudah karena lawan bicara Valenzi juga menggunakan telepon rumah.
"Los Angeles," gumannya. Setelah melihat monitor komputer yang terisi banyak data panggilan masuk dan keluar.
Sedetik kemudian, Raka meraih hoodie, surat-surat dan kunci mobil.
Dia harus pergi menyusul Valenzi apapun yang terjadi.
Dia berlari menuju mobil yang tidak sempat dia parkir beberapa jam lalu. Raka hanya menyuci pintu rumah, tanpa mengunci ruangan yang lain, bahkan menutupnya saja tidak. Yang terpenting adalah maafnya tersampaikan.
Raka menginjak pedal gasnya meninggalkan pekarangan rumah.
"Halo. Ada apa, Pak?"
"Jemput dan antar pulang mobil saya di bandara."
"Baik, Pak."
Raka menutup teleponnya sepihak. Matanya masih sibuk mengamati lalu-lalang kendaraan di jalan raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love To Life
RomansaValenzi seorang gadis sempurna mempunyai segalanya, paras dan tubuh yang sempurna, kekayaan yang berlimpah, dan kebebasan dari orang tuanya, tetapi, siapa sangka kebebasan dan kekayaannya di rengut paksa oleh kedua orang tuanya ketika perusahaan ora...