LTL || Part 25

348 16 1
                                    

Bagaimana jika kali ini, keadaan tahun-tahun yang berlalu akan segera berbalik.

Valenzi menutup mulutnya. Sebisa mungkin dia tidak terkejut dengan apa yang baru saja dia lihat.

Mba Marni yang sadar jika Valenzi tak kunjung mengikutinya pun menoleh ke belakang. "Ada apa, Mba?"

Valenzi mendongak dengan wajah yang masih sukar dimengerti. "Eng-gak apa kok, Mba. Mba jalan dulu aja."

Meskipun sedikit was-was, Mba Marni tetap menuruti perkataan Valenzi.

Dalam hatinya jelas dia merasakan sakit. Melihat lengan suaminya diapit oleh wanita lain, yang bahkan bukan keluarga mereka.

Sekelebat bayangan wajah Tasya muncul di otaknya.

"Dia Tasya, sekertaris gue."

Valenzi memejamkan kedua matanya. Ponsel yang berada di tangannya, kini dia genggam dengan sangat erat. Seolah melampiaskan seluruh amarahnya.

"Zizi, tenang. Dia cuma sekertaris," ucapnya, menenangkan dirinya sendiri. Dengan satu helaan nafas panjang, Valenzi berjalan cepat menyusul mba Marni yang sudah berjalan mendahuluinya di depan.

"Mba Zizi gak papa?"

Valenzi menoleh, dia menggeleng seolah memberitahu jika dia sedang baik-baik saja.

"Kita pulang aja ya, Mba."

Tanpa menjawab sepatah katapun, Valenzi mengangguk. "Mba Zizi, awas!"

Dengan sigap mba Marni menarik tangan Valenzi. Hampir saja dirinya tercebur ke got jika tak segera ditarik oleh mba Marni.

"Mba Zizi bener baik-baik aja?" Valenzi mengangguk. Kemudian, kali ini dia yang memimpin jalan menuju rumahnya.




"Mba ..., Mba Zizi pendarahan lagi?"

Valenzi menoleh ke bawah, ada darah yang menetes dari balik celananya. "Kayaknya aku cuma kecapekan, Mba. Aku istirahat aja."

Meskipun begitu, raut khawatir tak kunjung surut dari wajah mba Marni. "Kita ke dokter saja lagi ya, Mba."

Valenzi menggeleng. Tanpa menunggu ucapan mbaMarni lagi, Valenzi berjalan menuju kamarnya dengan sangat hati-hati.

Sebenarnya dia takut. Pendarahannya sudah terjadi dua kali. Dia takut akan terjadi sesuatu kepada bayinya.

Dia membaringkan tubuhnya setelah membersihkan noda darah di kakinya. Menarik selimut hingga sebatas leher, dan mulai memejamkan kedua matanya.

Baru saja dia hendak terlelap, ada satu bunyi yang mengganggu tujuannya.

Tangannya meraba meja balas, tempat dia meninggalkan ponselnya.

"Lagi apa, Sayang?"

Tanpa disuruh pun, seulas senyum sudah terpahat sempurna di wajah Valenzi. Rasa kantuk yang dia kumpulkan agar bisa beristirahat hilang seketika hanya dengan pesan singkat yang dikirim suaminya.

Valenzi larut dengan percakapannya dengan Raka. Padahal, tadi dia ingin istirahat agar kondisinya membaik. Bagi Valenzi, Raka adalah obat dari segala lukanya, meski demikian, tak mengelakkan fakta jika luka terdalam yang dia alami satu tahun lalu, pun karena Raka.

Di rumah sendirian karena ditinggal suaminya, bukan lagi hal yang mengejutkan baginya. Valenzi sudah terbiasa ditinggal oleh Raka. Pun saat dia masih lelap tertidur, Raka sudah meninggalkannya tanpa pamit.

Meskipun begitu, cinta yang dimiliki Valenzi untuk Raka tidak pernah ada habisnya, dan tidak akan pernah sirna.

Di satu sisi, Valenzi pun tetap seorang wanita yang tidak mau di duakan cintanya. Dia amat ingin menanyakan foto yang baru saja dikirim ke ponselnya, tapi dia sungkan. Dia hanya bisa terus menyembunyikan rasa kecewanya di dalam hati kecilnya.


Love To LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang