Sakit bukan satu-satunya rasa saat kehilangan. Tak lain dan tak bukan, merasa takut adalah hal paling mengerikan yang dihadapi sebelum merasa kehilangan.
Raka memijat pelipisnya. Jalanan malam ini cukup ramai. Wajar saja, malam ini adalah malamnya para remaja seperti istrinya, seharusnya. Ya, malam Minggu.
Raka memencet klakson berulang kali, disusul dengan kendaraan yang lain. Jalanan ini tidak biasanya macet parah pada jam-jam segini. Raka membanting punggungnya di kursi kemudi. Dia mengambil botol air mineral saat dirasa masih cukup lama ia akan terjebak macet di daerah ini.
Raka meraih ponsel, mengetukna sebanyak dua kali hingga menampilkan jam digital di sana. Pukul 10.00.
Sudah cukup larut jika istrinya belum tertidur. Raka menginjak pedal gasnya perlahan, pun bergerak maju secara perlahan mengikuti kendaraan di depannya.
Butuh waktu hampir 1 jam untuk sampai di rumah. Badannya terasa pegal semuanya.
Raka menutup pintu garasi, dan segera berlari masuk ke rumah.
Baru saja dia selesai meletakkan sepatunya di dalam rak, matanya tak sengaja menangkap sesuatu saat badannya berbalik.
"Loh, Zi? Kamu belum tidur?"
Wanita yang duduk bersila di atas sofa ruang tamu itu mendongak. Mengalihkan pandangannya dari majalah di genggamannya.
Valenzi menggeleng, menurunkan kedua kakinya, lalu meletakkan majalah di atas meja.
Raka mendekat. "Udah jam 11 loh, gak baik buat kesehatan kamu sama anak kita."
Valenzi sedikit tersentak, tiba-tiba saja dia merasa gugup. "I-iya, ini mau tidur, kok."
Raka menggelengkan kepalanya gemas. Dia segera mendekat dan menggendong tubuh Valenzi. Membawanya pergi ke kamar bersama dirinya.
Valenzi tidak menolak, meski awalnya sedikit terkejut karena perlakuan tiba-tiba Raka.
"Oh iya, Zi. Aku besok pergi," ucap Raka, seraya menyampirkan hoodie di gantungan baju kotor.
Valenzi yang sudah sejak tadi di turunkan di atas kasur, mengernyit tak mengerti. "Kok tiba-tiba?"
Raka mengangguk, lalu mendekat dan duduk di depan Valenzi. "Wakil Presdir perusahaan di Paris, dia kritis, Zi. Perusahaan juga sekarang ini terombang-ambing, kehilangan pemimpin mereka. Jadi ..., aku akan kesana." Raka menegakkan posisi tubuhnya, sedikit mengalihkan tatapannya dari manik mata Valenzi.
"Sama Tasya," lanjutnya.
Meski sedikit terkejut, Valenzi segera membuang jauh-jauh pikiran jelek tentang suaminya juga Tasya. Mereka hanya rekan kerja, tidak lebih.
"Cuma 3, kok. Kita cuma ngecek keadaan di sana. Benerin dikit, udah selesai. Gak akan lama," tegasnya.
Tentu saja terasa berat bagi Valenzi. Meski hanya beberapa hari, namun, sangat berefek padanya. Bahkan, sekarang dia sudah bersedih.
Meski bagaimanapun dia tetap mengangguk. Mengiyakan ucapan suaminya. Seulas senyum terukir di wajah Raka. Dia menarik Valenzi ke dalam pelukannya. "Makasih, Zi." Valenzi mengangguk.
🍁
"Ah ..., rasanya jadi gak mau pergi."
Valenzi yang sibuk menyiapkan barang bawaan Raka tersenyum simpul. Mendekati Raka yang memandang keluar melalui jendela besar di depannya.
"Jangan gitu, ini juga penting," ucap Valenzi. Kedua tangannya lihai merapikan dasi Raka yang terlihat miring.
Raka menghela nafas. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Valenzi. "Aku panggil mama Riri buat nemenin kamu selama aku pergi, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love To Life
RomansaValenzi seorang gadis sempurna mempunyai segalanya, paras dan tubuh yang sempurna, kekayaan yang berlimpah, dan kebebasan dari orang tuanya, tetapi, siapa sangka kebebasan dan kekayaannya di rengut paksa oleh kedua orang tuanya ketika perusahaan ora...