lima

1.9K 143 0
                                    

Langit biru semakin menambah kesan kejernihan air sungai kaki gunung ini. Tempat ini adalah salah satu objek pariwisata di kotaku yang masih terjaga keasriannya. Membuat banyak orang ingin berlama-lama di tempat ini. Pak Riza dan Firla berenang disungai jernih itu, aku hanya memandangi mereka dari kejahuan. Sesekali mengambil potret mereka atas permintaan Pak Riza. Usai berenang kami pun duduk di salah satu gazebo yang terdapat tepat di atas sungai setelah memesan beberapa makanan. Sungguh keindahan Sang Pencipta tak pernah aku pungkiri. Melihat kelok daun yang hijau, gunung yang terhampar luas, juga bunga-bunga indah yang bermekaran.

"Dimakan Za!" peringat Pak Riza membuyarkan lamunanku.

Aku pun hanya mengangguk dan mengambil sendok di depanku. Firla sudah anteng dengan makanannya.

"Za, saya mau bicara" membuatku menoleh kearahnya.

"Ya bicara atuh pak, ngapain izin segala" ucapku malas.

Nyatanya ku masih kesel sama beliau. Setelah beberapa hari ini membuatku pulang telat dan tiba-tiba mengajakku jalan seperti saat ini. Bukannya memberiku jam istirahat penuh, malah menjadikanku sebagai babu di sini.

"Saya ingin menikah denganmu" seketika ku terdiam, mencerna apa yang dia katakan.

"Ap..ppa?" tanyaku memastikan. Ah kenapa aku gugup.

"Saya yakin kamu mendengar jelas apa yang saya ucapkan"

"Bukannya bapak sudah beristri?" tanyaku memastikan.

"Jika saya sudah beristri saya ga perlu ngelamar kamu Za"

"Ya siapa tau bapak mau menjadikan saya yang kedua"

"Astaghfirullah, Insyaallah saya akan menjadikanmu yang pertama dan terakhir" pernyataannya sungguh membuatku terkejut.

Lalu siapa Firla ini. Sontak ku menoleh kepadanya yang tak merasa terusik sedikitpun.

"Dia anak angkat saya, ayahnya meninggal kecelakaan dua hari sebelum dia dilahirkan, ayahnya adalah sahabat saya sendiri, dia menitipkan istri dan anaknya. Namun, Allah berkehendak lain. Ibunya ikut meninggal satu jam setelah melahirkan" Aku tersentuh mendengarnya, sungguh malang anak ini.

"Keluarga dari ayah atau ibunya?" tanyaku penasaran.

"Ayah dan ibunya sama2 tak memiliki keluarga, mereka anak jalanan yang abah rawat dan kemudian abah menjodohkannya" akupun mengangguk paham.

"Jadi bagaimana?" tanyanya lagi, membuatku bingung menjawab apa.

Jujur saja aku masih belum siap untuk menikah, ya meskipun umurku sudah terbilang matang. Bahkan teman-temanku pun sudah banyak yang memiliki buah hati. Sungguh ku sangat bingung.

"Abi, pulang yuk!" ajak Firla yang mungkin sudah mulai bosan.

***

Aku tak pernah tahu dengan takdir Allah. Setelah tiga tahun ku menutup hati, kini Allah menghadirkan kembali. Tapi nyatanya ku masih tak mampu beranjak dari masa lalu. Aku masih tak mampu melupakan kenangan yang ku ciptakan sendiri. Gus, ku masih menunggumu, menunggu janji mu untuk pulang dua tahun lalu. Ku masih tak mampu melupakanmu. Entahlah, ku masih merasa kau berada di dunia, walau tak tahu dimana.

Kreekkk... Seketika ku menutup alquran di tanganku saat menyadari ummi datang.

"Kenapa ga keluar setelah pulang tadi?" tanya ummi khawatir.

Sepulang Pak Riza dan Firla aku memang mengurung diri di kamar. Entahlah aku ingin sendiri. Aku pun menghampiri ummi yang duduk di tepi ranjang dengan bersimpuh dibawahnya. Ku luapkan isi hati yang sudah tak mampu ku tahan.

"Kenapa Za?" ku masih diam sesenggukan.

"Tadi Pak Riza ngelamar Zafir" ucapku yang masih belum beranjak dari pangkuan ummi.

Ummi tersenyum sambil mengusap pundakku, "Ummi sudah tahu, beliau menyampaikan niatnya satu minggu yang lalu pada abi, tapi semuanya kembali padamu nak"

"Zafir masih belum siap mi, Zafir.." kutak mampu mengutarakan.

"Sampai kapan kamu seperti ini, ini sudah tiga tahun Za"

"Za.. Zafir masih merasa Gus Arham masih hidup mi"

"Astaghfirullah Zafir, jangan seperti ini, beliau pasti sudah tenang di sana"

"Zafir masi butuh waktu mi" ucapku membuat ku beranjak dari pangkuan ummi.

"Istikharahlah nak, minta petunjuk Allah" ucap ummi sebelum meninggalkanku di kamar

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang