delapan

1.5K 142 5
                                    

Dua hari izin tak bekerja, kini ku kembali memulai aktivitasku. Berkutat dengan kertas dan laptop adalah pekerjaanku.

Ya seperti itu, terkadang membuatku merasa bosan. Untung saja hari ini tak ada jadwal meeting, jadi kemungkinan untuk bertemu Pak Riza sangatlah kecil.

Ku masih tak siap untuk bertemunya, terlebih jika ditanya akan jawaban pertanyaannya.

Terkadang hati pikiran tak memiliki jalan yang sama. Begitu juga restu dan keinginan. Sungguh sulit untuk mengendalikan agar jalan beriringan.

Memilih merupakan hal yang berat. Memiliki banyak pertimbangan pun menjadi semakin sulit untuk mengikhlaskan.

Bermodal tawakal, menyerahkan segala urusan pada sang pemilik cinta, merupakan pilihan yang utama.

Sudah seminggu Pak Riza mengutarakan niatnya. Selama itu pula ku meminta petunjuk pada sang kuasa.

Mungkin inilah waktunya ku menjawab sesuai petunjuk yang kudapat. Orang tuaku tak terlalu memaksa dengan keputusanku. Ku hanya berharap ini merupakan langkah yang benar.

Kakiku terhenti didepan pintu kaca hitam. Ketika ku hendak mengetuk, secara bersamaan pintu itu terbuka.

"Astaghfirullah" pekikku kaget bersama seorang pria yang baru saja hendak keluar.

"Ma ma maaf pak" ucapku menunduk.

"Ada apa Za?" tanyanya.

"Emm saya mau bicara Pak" ujarku membuat dia melihat pergelangan tangannya.

"Kebetulan tiga puluh menit lagi jam makan siang, saya juga mau menjemput Firla. Jika kamu mau, mari ikut saya. Kita bicara diluar" tawarnya, membuatku hanya mengangguk.

***

Kami berhenti di sebuah rumah makan tak jauh dari sekolah Firla. Firla terlihat senang, saat melihat aku ikut menjemputnya. Bahkan ia tak mau lepas dariku. Beberapa makanan sudah tersedia di meja.

Firla sudah tak peduli fengan sekitarnya. Itulah kebiasaannya saat bersama makanan yang disukainya.

"Jadi, kamu mau bicara apa?" tanya Pak Riza membuka pembicaraan kami.

"Saya mau membicarakan mengenai pertanyaan Bapak minggu lalu"

"Jika kamu masih ragu, tak apa. Saya masih mampu untuk menunggu"

"Tidak pak, saya sudah yakin dengan jawaban saya"

"Lalu, bagaimana?" oh sungguh rasanya berat sekali untuk mengungkapnya.

"Emm maaf pak, saya masih belum siap"

"Saya akan menunggu, hingga kamu siap Za"

"Tapi sepertinya itu sulit Pak"

"Kenapa?"

"Ada seseorang yang saya cintai" membuatnya memalingkan wajah.

"Maaf Pak"

"Apa kamu mencintai Arham Za?"

Deg

seketika cairan bening lolos dipipiku.

Ah aku benci menangis seperti ini.

"Sebenarnya kamu amanah darinya untukku. Begitu juga dengan Firla"

"Maksud Bapak?"

"Dialah sahabatku yang ku ceritakan padamu"

"Apa Firla anak kandung dari Gus Arham?" kulihat dia hanya menunduk dalam.

Allah mengapa serumit ini. Mengapa kau menghianatiku gus. Mengapa kau tak pernah jujur. Hingga Allah berkehendak lain padamu.

"Maaf Pak, saya balik terlebih dulu" ucapku sembari meninggalkannya.

"Saya santar Za" teriaknya yang tak kupedulikan.

Begitu Firla yang juga menangis memanggilku. Sungguh aku butuh waktu untuk sendiri.

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang