dua puluh

1.4K 110 2
                                    

Tak terasa, semua acara berjalan dengan lancar.

Tak hanya di rumah ku yang mengadakan syukuran.Namun, di pesantren pun sama.

Acara ini ditujukan untuk mengumumkan pernikahan agar tidak menimbulkan fitnah.

Acara di pesantren satu hari setelah acara di rumah.

Aku dan Gus Arham memutuskan untuk tinggal di pesantren.

Semua pengelolaan pesantren kini berpindah pada Gus Arham. Sebab Abah akan pindah ke Madura.

Sedangkan Gus Ilham, dia memilih tinggal di luar pesantren bersama istrinya.

Namun, kepengurusan pesantren juga tak lepas darinya.

Ning Hilda, yang ku kira istri dari Gus Arham dulu, ternyata istri dari Gus Ilham.

Ning Alifia juga memutuskan untuk tinggal di Madura jika ia telah menyelesaikan studinya di Yaman.

Pagi ini aku memasak cukup banyak makanan, sebab semua keluarga dari Gus Arham sedang berkumpul.

Karena nanti malam Abah dan Ummah Khalila akan pulang ke Madura.

"Mbak, kapan-kapan main ke Madura ya. Mbak kan belum pernah sowan ke Mbah Yai" ucap Ning Fia.

"Nggih Ning, insyaallah kalau ada waktu. Kasihan santri juga kalo misal di tinggal".

"Sudah selesai masaknya?" Tanya Ummah Khalila menghampiri kami berdua.

"Alhamdulillah Ummah sudah, tinggal bawa ke meja makan" jawabku.

"Ya sudah biar saya yang bawa, kamu panggil keluarga yang lain untuk sarapan" ucap ummi Khalila sebelum aku pergi.

***

Ba'da isya' semua barang-barang Abah dan Ummi sudah di dalam mobil.

Sempat terdapat beberapa santri yang membantu.

Setelah memberi sedikit wejangan untuk kami, Abah dan Ummi pun berangkat.

"Mas, saya pamit pulang" ucap Gus Ilham.

"Loh mboten nginep Malih Gus?" Jawab ku.

"Mboten Mbak, kasian rumah sudah ditinggal beberapa hari" jawab Ning Hilda.

Aku dan Ning Hilda pun bersalaman.

Namun Gus Ilham keluar begitu saja, tak menyalami Gus Arham.

Ada apa dengan mereka? Bukankah mereka dulu begitu dekat.

Bukan tak menyadari akan perbedaan keadaan diantara keduanya. Sejak awal aku tak pernah melihat Gus Arham dan Gus Ilham saling berbicara.

Mungkin sedang ada sedikit permasalahan diantara mereka.

Aku dan Gus Arham pun kembali ke ndalem.

"Sepi nggih Gus" ucapku, Gus Arham tersenyum sambil mendekat ke arahku.

"Kelak pasti rame Ning, jika anak-anak kita lahir" ucapnya memelukku membuat ku reflek melepaskannya.

Maaf gus, entah mengapa sampai saat ini aku masih merasa ada keraguan didalam rumah tangga ini.

"Punten Gus, Zafir lupa kalau ada janji sama mbak-mbak pengurus" dalihku untuk menghindarinya.

Walau memang sebenarnya aku juga ada janji dengan mereka.

Gus Arham hanya menganggukkan kepalanya dengan sorot mata yang tak mampu ku baca.

Sorot mata kesedihan yang penuh penyesalan.

Juga sorot mata yang terlihat begitu merasa bersalah.

Aku tak mengerti akan sorot matanya. Hingga aku pun meninggalkannya sendiri.

***

Hari demi hari pun ku lalui. Tak terasa pernikahan ku sudah tiga bulan lamanya.

Kini aku mampu menyesuaikan diri dengan padatnya jadwal kegiatan pondok juga luar pondok.

Alhamdulillah, warga sekitar mempercayai ku untuk menggantikan ummah di masyarakat.

Walaupun ilmu ku jauh jika dibandingkan dengan ilmu yang almarhumah ummi Ariana miliki.

Hari ini jadwal pengajian ibu-ibu majelis taklim Al inayah. Jaraknya hanya 500 M dari pesantren, membuat ku memilih untuk berjalan.

Hitung-hitung selain menambah pahala juga menambah tali silaturahmi dengan ibu-ibu sekitar.

Karena dengan demikian kita berangkat bersama menuju area utama.

Sampai di pesantren terlihat pintu ndalem terbuka, itu artinya ada tamu saat ini.

Aku pun memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang.

Saat sampai di dapur, terdengar percakapan di ruang tengah.

Pasti tamunya saudara dekat. Aku pun memutuskan untuk masuk.

Langkah kakiku terhenti sebelum pembatas ruang tengah dan dapur.

"Njenengan sampai kapan mau merahasiakan ini?"

"Aku terlalu takut Ham"

"Mas, Mbak Fira berhak tahu tentang sebenarnya, saya harap njenengan mampu mengambil keputusan yang tepat, saya pamit. Assalamualaikum" aku pun bingung tak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.

"Ning?" Membuat ku terlonjak kaget,

"Astaghfirullah" ucapku menetralkan kagetku.

Gus Arham terlihat kaget juga begitu menemui aku berada didekat sekat dapur.

Aku pun meraih tangannya untuk menyalami.

"Sepertinya ada tamu nggih Gus? Sinten?" Tanya ku.

"Em.. itu.. Ilham tadi habis ngajar mampir sambil membicarakan sedikit tentang pondok" jawabnya gugup.

"Jenengan kenapa?" Tanya ku merasa ada keanehan didalam dirinya.

"Hah? Mboten Ning, mboten nopo"

"Oalah nggih pun, Zafir ten kamar riyin" ucapku kemudian meninggalkannya.

Entah mengapa sejak awal pernikahan aku merasa Gus Arham menyembunyikan sesuatu.

***

Usai membersihkan diri aku menuju perpustakaan pribadi Gus Arham.

Aku suka dengan perpustakaan mini ini. Beliau suka mengoleksi kitab-kitab.

Walaupun ada hanya sedikit yang bukan kitab.

Langkah ku menuju koleksi buku fiqih.

Biasanya aku hanya membersihkan ruangan ini.

Entah dorongan dari mana, aku mengambil salah satu buku bersampul coklat.

Aku membuka halaman yang terlihat ganjal di buku ini.

Yeah aku baru ingat, dulu aku membaca buku ini, dan ku jadikan foto ku dan Gus Arham sebagai pembatas halaman.

Ku ambil foto tersebut dan sedikit membersihkannya.

Aku tersenyum melihat nama yang tertulis dibaliknya

"Muhammad Arham Malik/Zafira Nuril Ulya/5Sep".

Aku meneliti setiap Ichi dari foto ini.

Beliau tersenyum manis dengan memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar.

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang