dua puluh tiga

1.3K 109 0
                                    

Di saat hidup tak sesuai dengan rencana yang sudah tertata rapi. Gambaran hati pun kini memilih pergi.

Selembar kertas yang penuh akan tinta hitam kini terbuang sia-sia.

Cita-citaku ku kubur dalam-dalam setelah Allah memberi ku jalan yang lain.

Allah kembali memberiku cobaan di tengah-tengah aku menuntut ilmu.

Allah menjatuhkanku se jatuh-jatuhnya, dikala aku baru mengenal cinta.

Namun aku bersyukur, karena-Nya aku bisa menuntut ilmu hingga ke negeri para Nabi.

Ku kira Allah sudah tak akan lagi memberiku cobaan yang berat setelah semua yang kulalui.

Namun, aku kembali salah, Allah menguji ku tentang kesetiaan.

Mungkin ini karena aku yang terlalu takabur dan berusaha mendahului kehendak-Nya.

YaAllah maafkan hamba yang selalu lalai akan kebesaran-Mu. Hamba serahkan hidup hamba pada-Mu.

Jika memang jodoh hamba adalah Gus Arham lapangkan hati hamba untuk menerima semua ini.Hamba mohon yang terbaik YaAllah.

Kini sajadah ku basah akan air mata.

Hanya di waktu shalat aku mampu mengungkapkan seluruh keluh-kesahku.

Aku tak pernah menceritakan masalah rumah tangga ku kepada siapapun.

Tapi naluri seorang ibu tak pernah lepas dari anaknya.

Kemarin Ummi menanyakan mengenai rumah tangga ku.

Namun, aku berhasil meyakinkannya bahwa aku dan Gus Arham baik-baik saja.

Matahari masih belum menampakkan diri, aku pun membersihkan kamar.

Aku terlonjak kaget saat ada seseorang yang memeluk kakiku.

"Astaghfirullah Key, kalo masuk salam dulu nak"

"Heheh maaf lupa ammah" ucapnya nyengir menampakkan giginya yang ompong.

"Ada apa sayang?" Ucapku membelai pipinya kemudian menciumnya.

"Katanya mau jalan-jalan mah?"

"Oiya yaudah tunggu sebentar ammah siap-siap dulu ya nak. Apa Hilya sudah bangun?"

"Jangan sama Hilya ya mah!" Aku mengernyit bingung, ada apa dengan bocah ini.

"Key kangen jalan berdua bareng ammah" ucapnya menunduk.

YaAllah aneh-aneh aja anak ini.

"Iya sayang iya, kita jalan berdua. Yaudah yuk!" Ajakku setelah semua siap.

Kami berdua joging menuju taman sembari menikmati udara pagi. Tadi malam sempat hujan membuat udara pagi ini sangat segar.

"Ammah haus!" Ucap Key membuat kami berhenti.

"Yasudah Key beli air sana, ammah tunggu disini ya" ucapku kemudian duduk dipinggir taman.

Ku edarkan pandanganku ke seluruh wilayah, kebetulan hari ini hari Sabtu, jadi banyak warga yang melakukan olahraga.

Aku terharu melihatnya.

Ada yang bersama keluarga kecilnya, sepasang suami istri beserta sang bayi. Ada sepasang suami istri yang terlihat mesra. Ada yang bersama keluarga besarnya. Ada pula juga suami istri yang sudah lansia tapi tetap romantis.

Aku iri melihatnya, aku ingin seperti mereka. Tak terasa bulir kecil lolos di balik cadarku.

"Ammah kenapa nangis?" Tanya Key memelukku.

"Ammah gapapa sayang, ammah cuma kelilipan" jawabku bohong.

"Ammah pasti bohong, Key sudah dari tadi disini dan ammah ga sadar kalo Key uda dateng"

"Ammah gapapa sayang, Ammah cuma ngerasa seneng masih diberi umur panjang oleh Allah dan punya ponakan se shaleh kamu nak" ucapku memeluknya.

"Kok malah nangis sih, udah yok lanjut apa pulang?"

"Pulang aja mah, Hilya pasti bangun kasian ummah kalo ga ada yang bantuin jaga Hilya"

"Yasudah ayo pulang"

***

Hari ini mas Mirza menginap di rumah mertuanya. Namun, Key tidak ikut. Jadi aku menemaninya.

Rumah mas Mirza tepat di depan rumah ku.

"Mbak gue pulang ya" ucap Haqqi sepupuku yang juga menemani Key

"Eh kamu ya ga sopan banget sama yang lebih tua" ucapku sambil melempar bantal ke arahnya.

"Ah elah Mbak galak lu ga ilang-ilang dari gue kecil"

"pake kata lu gua lagi coba?" Ancamku memegang majalah.

"Iya mbak iya maaf, ih Mbak ga asik nih"

"Biarin, katanya mau pulang sana pulang" usirku.

Sedangkan Haqqi tak menghiraukan, dia semakin membenarkan posisinya di kasur lantai.

"Gajadi, Haqqi mau nginep sini, takut mbak digondol Wewe"

"Heh arek Iki ngelamak Lo" ucapku semakin geram.

"Becanda mbak, ah elah baperan. Mbak mo curhat" ucapnya memelas.

"Yaudah curhat aja"

"Mbak, Haqqi merasa kehilangan seseorang sejak enam tahun yang lalu. Sejak itu dia ga pernah senyum bahagia. Yang terlihat hanyalah sebuah senyuman yang penuh beban. Dulu dia sayang banget sama Haqqi, kemanapun dia pergi pasti ngajak Haqqi, oleh-olehin Haqqi, beliin Haqqi ini itu. Tapi saat enam tahun lalu, entah masalah apa yang dihadapinya. Haqqi masih terlalu kecil untuk memahami. Sejak saat itu Haqqi kehilangannya. Kehilangan senyumnya, kehilangan kebaikannya, kehilangan semua yang ada pada dirinya. Mbak, Haqqi merasa kehilangan sosok kakak yang paling Haqqi sayangi. Sejak saat itu meskipun hanya menanyakan kabar Haqqi pun mbak ga pernah. Haqqi rindu Mbak yang dulu. Jujur kadang Haqqi merasa benci dengan suami Mbak. Karena dia mbak berubah. Haqqi ga tau seberapa besar masalah yang mbak hadapi selama ini. Tapi Haqqi ingin mbak kembali seperti dulu lagi. Jika memang mbak ga bahagia dengan jalan ini, cari jalan lain mbak, untuk mengejar kebahagian mbak. Cukup sudah enam tahun lebih mbak dalam keterpurukan" aku tak mampu menahan air mata ku lagi.

"Maafkan mbak dek, maaf jika mbak tak menghiraukan mu. Doakan mbak ya semoga mbak cepat menemukan kebahagiaan mbak"

"Pasti itu mbak. Berjanjilah padaku untuk mbak selalu tersenyum"

"insyaallah" ucapku tersenyum tulus padanya.

"Iih kok bikin mellow sih Mbak"

"Kamu tuh yang bikin mewek duluan"

"Heheh yaudah mbak Haqqi mo tidur di kamar depan ya"

"Iya".

Kemudian aku memindahkan Key yang sudah tertidur sejak tadi.


Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang