dua puluh enam

1.3K 118 2
                                    

Pikiranku sejak tadi tak tenang. Mengingat permintaan Firla yang sulit untuk ku turuti.

Bukan aku tak ingin merawatnya. Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku merasa sangat dekat dengannya.

Hanya saja dia yang sudah tinggal bersama Gus Riza dan juga istrinya, membuat ku sulit untuk meminta hak asuh Firla dari mereka.

Terlebih aku hanya orang baru di kehidupan mereka.

Allah... Satu masalah belum selesai kini sudah ada lagi. YaAllah bantu hamba menyelesaikan semua ini.

"Mbak... Setorannya lanjut besok ba'da subuh saja. Sekarang kalian istirahat sudah" ucapku setelah menghabiskan waktu dengan mereka.

Kegiatan pondok saat ini tak terlalu padat, sebab hanya ada beberapa santri.

***

Aku memilih menunggu Gus Arham datang sembari membaca buku. Aku ingin semuanya malam ini selesai.

Tak ada lagi keganjalan di hatiku. Tiba-tiba kenop pintu bergerak, menandai seseorang hendak masuk.

Gus Arham datang dengan sorban yang sudah di tangannya dan lengan bajunya yang sudah terlipat setengah. Sungguh menambah ketampanannya.

"Assalamualaikum" ucapnya sembari meletakkan sajadah dan pecinya.

Aku beranjak menyalami. Tak ada sepatah kata apapun darinya. Kemudian beliau melangkah menuju pintu.

"Gus" cegahku.

Dia hanya berhenti sebentar tak memutar tubuhnya.

"Mari selesaikan semuanya malam ini" ucapku.

Tak ada jawaban darinya, beliau juga terus melenggang ke luar kamar.

Mengapa Gus Arham malah pergi, apakah beliau tak ingin menyelesaikan semua ini.

YaAllah hamba lelah. Tak terasa bulir bening itu kembali menetes. Apakah aku salah dalam berbuat.

"Di minum dulu Ning" terlihat cangkir putih di hadapan ku.

Segera mungkin aku menghapus air mata ku.

"Kenapa?" Tanyanya saat aku mengambil cangkir berisi coklat hangat itu.

Beliau mengambil posisi di samping ku setelah meletakkan cangkir miliknya.

Aku pun meletakkan cangkir itu setelah sedikit menyesapnya. Beliau memutar tubuhku agar menghadap ke arahnya.

"Saya ga tau apa keputusan sampean setelah saya jelaskan semuanya. Sampean boleh marah, atau apapun, asal jangan pergi. Sampai kapanpun saya tak akan berpisah dengan sampean, kecuali Allah memisahkan kita" ucapnya menggenggam tanganku kemudian mengecupnya.

Aku hanya diam, tak menjawab ucapannya.

"Ning? Apa sampean bersedia mendengarkan semuanya?" Aku mengangguk pelan.

"Saya Muhammad Arham Mafiq, saudara kembar dari Muhammad Arham Malik" ucapnya mengawali pembicaraan membuat ku terkejut.

YaAllah mengapa bisa hamba menikah dengan saudara kembar ini.









***
Maaf baru bisa update sekarang dan dikit:(

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang