tiga puluh empat

1.4K 110 4
                                    

Aku mengerjapkan mata saat tangan basah menepuk pipiku.

"Bangun Ning.."

"Jam pinten Gus?"

"Jam tiga, cepet bangun, mandi. Tarlagi Subuh"

"Inggih Gus.." ucapku sambil duduk mengumpulkan nyawa.

"Shhh" aku meringis saat merasakan nyeri di bagian bawah.

"Sakit ya Ning?" Tanya Gus Mafiq khawatir.

Aku mengangguk malu sebelum meninggalkannya ke kamar mandi.

"Mboten usah ke masjid sudah Ning, jalannya sampean seperti itu" ucap Gus Mafiq saat aku sudah siap dengan mukenah dan sajadah ku.

"Zafir mboten nopo Gus.. ini hanya perlu sedikit penyesuaian"

"Terimakasih Ning sudah menjaganya untuk saya" aku hanya mengangguk pelan.

"Zafir berangkat dulu Gus.." pamitku.

Aku akan berkeliling pesantren tiga puluh menit sebelum Subuh. Membangunkan para santri juga mengontrol kebersihan masjid sebelum digunakan untuk shalat.

"Mbak sasya!" Panggilku saat melihat salah satu santri berjalan menuju masjid.

"Nggih Ning, wonten nopo?" Tanyanya menghampiri ku.

"Nanti yang bertugas ke pasar siapa?"

"Saya Insyaallah Ning"

"Oiya titipan saya ada di tempat biasa ya mbak, sama belikan bunga juga. Saya lupa tidak mencatatnya"

"Nggih Ning"

"Ya sudah.. ayo ke masjid"

"Nggih Ning, Monggo" ucapnya mempersilahkan.

***

Aku merasa lebih bahagia hari ini. Entah mungkin keganjalan yang sudah terungkap.

Begitu juga dengan Gus Mafiq, lengkung di wajahnya tak tenggelam sedikitpun.

Kini kami sarapan dengan nasi goreng. Dentingan piring menghiasi keheningan kami.

"Ning.. tarlagi ikut saya nggih"

"Ajenge teng pundi Gus?"

"Emm rahasia" membuat ku mengerucutkan bibir.

"Mboten usah ngoten nek ora pingin di sosor" ucapnya jahil membuat ku membelalakkan mata.

"Emmm Gus, tapi sebelum itu kita ke makamnya Gus Arham nggih" ucapku hati-hati.

Tak ada jawaban darinya.

"Kalau jenengan mboten purun, mboten usah pun"

"Saya masih belum menjawab Ning..." Ucapnya santai.

Namun, tak ada kelanjutan dari percakapan kami hingga sarapan selesai.

***

Aku masih mencari pin terompah yang biasa aku pakai. Aku lupa terakhir kali ada dimana.

"Masih lama Ning?" Tanya Gus Mafiq yang mulai bosan menunggu.

"Pinnya Zafir gada Gus..."

"Yasudah gausah make pin" ucapnya enteng.

"Ga mau Gus.. Yasudah Zafir gajadi ikut"

"Lohh lohhh.... Kok malah nesu. Pinnya seperti apa?" Mataku tertuju pada benda yang digenggam olehnya.

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang