tujuh belas

1.4K 130 2
                                    

Perlahan ku merasakan ketenangan. Mencoba mengumpulkan seluruh nyawaku. Kembali mengingat kapan kali terakhir aku sadar sebelum tidur.

Bukankah aku tadi malam ada di meja makan? Tapi entah mengapa saat ini aku sudah berada diatas kasur.

Nyawaku masih tak sepenuhnya terkumpul, membuatku enggan membuka mata.

Ku merasa ada seseorang yang tidur disampingku, yang tak lama membawaku erat dalam pelukannya.

Perlahan ku membuka mata takut. Tubuhku seketika menegang saat wajah sayu itu tertidur pulas menghadapku.

Allah...

Apakah beliau yang memindahkanku ke kamar ini?

Ku sedikit melirik jam yang berada di dinding, sudah jam tiga pagi.

Perlahan ku memindahkan tangan kekar yang berada dipinggangku agar sang tuan tak terbangun.

Ku menahan nafas untuk meminimalisir timbulnya suara.

"Begini dulu Ning, sebentar saja" ucapnya dengan suara sedikit parau sembari kembali memelukku, membuatku terkejut.

"Sa.. Sa.. Ya mau salat Gus" ucapku gugup.

Aku tak pernah sedekat ini dengan laki-laki, termasuk Abi dan mas Mirza.

Begitu pula saat aku bertunangan dengan Gus Arham dulu, walau kami nikah sirri, tak ada kontak fisik selain bergandengan dan bersalaman.

Dadaku berdegub tak karuan.

Lama dalam keheningan, Gus Arham membuka matanya lalu tersenyum indah, yang takkan membuatku bosan sampai kapanpun.

"Shabahul khair ya zaujaty" ucapnya sebelum akhirnya mencium keningku lama.

"Shabahunnuur" jawabku lirih.

"Kok ga ada endingnya?" ucapnya melepaskan pelukannya dan kemudian duduk.

Membuatku tersenyum tersipu.

Aku pun segera beranjak dari tidurku, seketika terkejut saat menyadari hijab dan cadarku di atas nakas.

"Ma.. Maa.. Maaf Ning, saya tak tega jika sampeyan tidur dengan hijab dan cadar" ucap Gus Arham merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya.

"Mboten nopo-nopo Gus, lagian jenengan sudah menjadi suami saya" ucapku, sebelum akhirnya aku pergi kekamar mandi terlebih dahulu.

Kami melaksanakan salat tahajud berjamaah, berlanjut murajaah hafalan masing-masing sembari menunggu azan subuh.

Gus Arham memilih untuk salat subuh dikamar bersamaku, karena ia merasa sedikit kurang enak badan.

Aku juga sempat mendengar sedikit isakan tangis dalam sujud terakhirnya juga dalam doanya.

Aku mengerti, akan sulit mengikhlaskan sosok wanita yang paling ia cintai, yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Aku hanya mampu mengamiini segala doa yang ia panjatkan.

***

Usai salat subuh, entah mengapa Gus Arham kembali ke kasur dan menggulunglan dirinya dengan selimut.

Tumben, tak sperti biasanya beliau seperti ini. Beliau yang selalu mengingatkanku, untuk tidak tidur lepas subuh.

"Emm Gus, jangan tidur lagi" ucapku ragu, membuatnya tersenyum.

Bukannya bangun, beliau malah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, ih mengesalkan sekali.

Akhirnya aku pun memutuskan untuk membaca alquran di sofa dengan pelan.

"Ngajinya disini saja Ning, saya suka denger sampean ngaji" ucapnya tiba-tiba.

Akupun berpindah duduk ditepian kasur, disamping Gus Arham.

Gus Arham beranjak duduk kemudian berpindah ke pangkuanku, menimbulkan desiran aneh didadaku.

Tanganku bergerak menyisiri rambut Gus Arham pelan.

"Astaghfirullah" ucapku kaget, saat merasakan hangat dikening Gus Arham.

Seketika ia menahan tanganku dikeningnya,

"Jangan berpindah, seperti ini terasa nyaman" ucapnya yang masih terpejam.

"Jenengan sakit Gus? Kenapa mboten bilang? Saya buatkan teh dan bubur nggih, lalu jenengan minum obat" tawarku, namun mendapat gelengan darinya.

"Sampean saja yang disini, sudah akan menjadi obat buat saya" ucapnya, seketika menarikku masuk dalam pelukannya.

"Gus..." rengekku.

"Diamlah sebentar Zafira!" ucapnya tak mau dibantah.

Akhirnya aku memutuskan untuk diam, membacakan shalawat pelan.

Apakah delapan tahun tak bersama menjadikannya menjadi orang yang manja seperti saat ini?

Untung suami.


***
Maaf ya kalo kurang uwuw Gus Arham dan Zafira nya:(

Author masih belum pengalaman:v

Wkwkwk canda doang

Selamat membaca 😘
Semoga bermanfaat ♥️

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang