dua puluh sembilan

1.3K 114 4
                                    

"Istri? Mereka? Siapa yang mas maksud?"

"Mengapa kau kembali bertanya pada ku. Seharusnya aku yang bertanya pada mu. Sudahlah kau fokus dulu akan kesembuhan mu. Setelah itu kita kembali ke Indonesia. Lalu kau jelaskan semuanya di depan Abah dan Ummi".

Setelah Malik dirasa cukup sehat, dan dokter memperbolehkan untuk perjalanan jauh, kami pun pulang.

Abah dan Ummi juga sudah tau mengenai istri dan anak Malik.
Sedangkan anak itu kini sudah resmi di adopsi oleh Riza. Kebetulan Riza, selain sahabat Malik dia adalah sepupu kami.

Abah dan Ummi juga sering mengunjungi anak itu.

Seminggu setelah kami kembali, sidang keluarga pun dibuka. Di mana Malik harus menjelaskan semuanya.

Abah dan Ummi sempat kecewa saat mendengar kabar bahwa Firla adalah anak dari Malik.

Kemudian Malik menjelaskan siapa anak itu.

Sang ayah dari anak itu adalah sahabat Malik, dia yang selalu membantu Malik di Mesir.

Sang ayah menikahi wanita itu karena wanita itu hanyalah hidup sebatang kara, begitu juga dengan sang ayah.

Beberapa hari sebelum kebakaran itu terjadi, sang ayah kecelakaan dan meninggal.

Malik merasa kasihan pada wanita itu.

Entah dorongan dari mana, Malik menghubungi Riza untuk menitipkan mereka, sebab ada perasaan tak enak yang ia rasakan.

Benar saja, sesaat kemudian ia mendapatkan musibah tersebut.

Saat kebakaran itu terjadi, ada seseorang yang menolongnya dan membawanya ke rumah sakit disaat ia sudah tak sadarkan diri.

Matanya sempat terkena percikan api, membuatnya tak mampu melihat.

"Demi Allah mi, bah, saya tidak pernah mengkhianati Za. Hingga detik ini saya masih mencintainya"

"Tapi maaf leh, saat ini keluarganya merahasiakan keberadaannya. Dia tidak ada di rumah"

"Tidak apa mi, lebih baik Za tahu saya sudah meninggal saja, saya tak mungkin kembali dengan keadaan seperti ini. Saya mohon rahasiakan saya dari siapapun"

Sejak saat itu hanya keluarga ndalem saja yang tahu mengenai Malik.

Riza pun tahu mengenai keadaan Malik. Tak jarang ia membawa Firla main ke pesantren.

Namun Riza tetap bersikukuh untuk merawat Firla.

Dua tahun berlalu dengan datar.

Dua tahun itu pula saya jarang bersama Malik. Kesibukan saya di Madura membuat saya tak sempat mengunjunginya.

Kami hanya menyempatkan berkomunikasi lewat telepon.

Suatu hari saya ada undangan dari rektor salah satu universitas di sini. Beliau menawarkan saya untuk mengajar.

Namun karena jadwal saya juga sudah padat jadi saya tak mampu menerimanya.

Saya datang ke kampus tersebut untuk menyampaikan ketidakbersediaan saya.

Ketika itu bersamaan dengan acara wisuda. Kebetulan atau tidak, saya bertemu dengan ayah gadis itu.

"Arham Mafiq?"

"Loh Abi? Bagaimana kabarnya Bi?"

"Alhamdulillah sehat, kamu gimana? Sudah nikah Leh?" Entah mengapa itu pertanyaan pertama yang Abi utarakan.

Saya hanya tersenyum menanggapi.

"Masih belum move on dari anak saya?"

"Insyaallah sudah Bi, hanya saja masih belum sempat mencari jodoh"

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang