Lima belas

1.6K 125 4
                                    

Kumpulan tetes air tak berhenti mengalir. Tetes demi tetes berjalan bergantian secara teratur.

Menimbulkan suara yang menenangkan. Hujan mengajarkanku banyak pelajaran.

Selalu menebar keberkahan sekalipun banyak orang tak menghiraukan. Selalu ikhlas dengan siklus yang berputar walau terlihat tegar.

Memilih jatuh dan kembali jatuh untuk mengobati yang rapuh. Di bawah guyuran air hujan ku merasakan ketenangan.

Di bawah guyuran hujan semua beban tertinggalkan. Hujan, mampu menutupi air mata yang tak mampu terhenti.

Sekalipun ikhlas sudah berkarat, nyatanya sakit itu masih menyayat. Sakit yang berusaha ku kubur selama lima tahun.

Hujan, menyadarkanku untuk segera bangkit, dan melupakan rasa sakit.

Tepat hari ini, pertemuan dua keluarga akan dipertemukan.

Deru mobil sudah eiterdengar dari halaman rumah.Abi segera keluar menyambut tamu di depan.

Aku masih berkutat di dapur. Mencoba tak peduli dengan ruang tamu yang sudah mulai ramai.

Ummi mengambil alih makanan dan minuman yang hendak aku bawa keluar dengan wajah kurang menyenangkan.

Ada apa dengan ummi, apa ada yang salah dengan keluarga calon suamiku. Sedikit penasaran, namun aku tetap tak menghiraukan.

Hingga beberapa saat Bunyai Nafisyah menghampiriku yang berada di dekat dapur.

"Zafira, apa kamu benar-benar sudah siap bertemu dengan calon suamimu nduk?"

"Insyaallah Bunyai"

"Jangan merasa kecewa apapun yang kamu dengar nantinya" ucap Bunyai membuatku khawatir.

Akankah pernikahanku akan gagal lagi? Sungguh aku sudah tak sanggup melewati lagi.

Langkah kakiku berhenti didepan para tamu. Bunyai membawaku duduk disampingnya.

"Nduk, Abi tak mengerti, mengapa Allah mengembalikanmu lagi padanya. Semua keputusanmu Abi terima, sekalipun harus menolaknya" seketika pandanganku beralih pada Abi, tak mengerti apa yang Abi utarakan.

Pandanganku beralih pada tamu yang lain.

"Calon suamimu baru saja pulang, dia mendapat telpon bahwa ibunya di bawa ke RS" tutur Kiyai, seolah mengerti apa yang aku cari, membuatku menunuduk.

"Baiklah, Zafira kamu harus mendengar ini semua. Laki-laki itu, dia adalah salah seorang putra kiyai, dia juga pernah belajar di Al azhar, Kairo, Mesir. Saat ini dia memulai untuk mengolah pondok orang tuanya. Dia sempat gagal di masa lalunya. Musibah yang dihadapinya membuat dia beserta tunangannya berpisah. Musibah itu menyebabkan ia tak percaya diri untuk kembali pada tunangannya karena ia menderita penyakit kronis. Hingga suatu saat Allah memberi kesempatan disembuhkan penyakitnya. Namun, ketika dia ingin kembali pada mantan tunangannya, mantan tunangannya memilih jalan lain. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengabdikan diri di pondok. Setelah tiga tahun ia mampu mengikhlaskan mantan tunangannya. Akhirnya dia minta bantuan saya untuk mencarikan jodoh untuknya. Setelah saya istikharah untuknya, saya mendapati kamu sebagai petunjuk"

"Kalau boleh tau dia siapa, Kiyai?"

"Dia salah satu putra dari Kiyai Hasan"

Deg..

Allah mengapa engkau tak menjauhkan aku dari keluarganya.

"Apakah be.. Be.. Beliau adalah Gus Arham?" tanyaku menahan tangis sejak tadi.

Pasalnya dari Kiyai bercerita, aku sudah menduga alur ceritanya. Ternyata benar, Allah kembali mengusik hidupku dengannya.

"Iya nduk, tapi terserah, keputusan ada ditangan sampean. Sampean juga berhak menolaknya" aku terdiam menunduk, bulir bening sudah lolos dari tadi.

Bunyai Nafisa mengelus punggungku, seolah menyalurkan kekuatan padaku.

Abi dan ummi, mereka memalingkan wajahnya, seolah tak ingin melihat luka itu kembali padanya. Aku bingung, tak mengerti.

"Abi serahkan semuanya kepada mu. Abi dan Ummi ikhlas jika kau akan menerimanya. Tapi berjanjilah setelah ini kamu akan bahagia" tutur abi.

"Zafir tak mengerti setiap kali Zafir minta petunjuk Allah untuk melupakan Gus Arham, Allah selalu mendatangkan Gus Arham di mimpi Zafir. Bahkan saat Zafir shalat istikharah kemarin, memang bukanlah Gus Arham yang datang pada mimpi Zafir. Tetapi ummi Ariana yang datang, beliau meminta Zafir untuk selalu berada di samping Gus Arham. Zafir tak mengerti, Zafir bingung" jelasku.

"Mungkin ini cara Allah untuk menyatukan kalian. Kalian memang ditakdirkan untuk bersatu, dengan berpisah terlebih dahulu. Jalan takdir Allah tak pernah ada yang tahu nduk. Kita sebagai manusia hanya mampu berencana yang berakhir sia-sia, jika rencana itu berbeda dengan rencana-Nya. Kita hidup mengikuti arus sungai, yang terkadang tenang, terkadang pula deras, terkadang banyak batu tajam, terkadang hanya pasir saja. Akan ada hikmah dibalik semua ini nduk" jelas Kiyai, ku masih menunduk, sembari menghapus airmata dibalik cadarku.

"Bagaimana nduk?" tanya sekali lagi Kiyai, mataku tertuju pada abi dan ummi yang mengangguk lemah.

"InsyaAllah Kiyai, jika ini memang alur yang harus Zafir jalani, Zafir terima" ucapku pasrah.

Sungguh ku sudah terlalu lelah untuk kembali berlari dan menghadapi masalah lagi.

"Bagaimana jika kita beritahu jawaban bahagia ini ke rumah sakit, sekaligus menjenguk Bunyai Ariana?" usul Bunyai yang disetujui semuanya.

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang