tiga belas

1.5K 123 3
                                    

Happy reading

***

Tiga tahun berlalu begitu cepat, kini waktuku untuk kembali ke tanah air. Hanya menunggu beberapa menit lagi, pesawat akan take off.

Sementara kursi di samping ku masih kosong. Ah semoga bukan pria yang duduk di samping ku kali ini.

Gubrak!!

Tiba-tiba suara di samping ku, seseorang yang tengah tergopoh-gopoh.

"عَفْوًا! اَنَا لاَ أعْرِفْ"

"اَهْ لاَ بَأسَ. هَلْ اَنْتِ تَجْلِسُ فِي ه‍ُنَا؟" tanyaku.

"نَعَمْ" jawabnya kemudian duduk.

Aku bersyukur bukan laki-laki yang duduk disebelah ku

"هَلْ اَنْتِ مِنْ إِنْدُوْنِسِي؟" tanyaku pada gadis yang disebelahku.

Wajahnya seperti tak asing bagiku.

"نَعَمْ! هَلْ اَنْتِ مِنْ إِنْدُوْنِسِي اَيْضًا؟"

"ya.. Perkenalkan saya ulya" ucapku.

Ya sejak aku memutuskan untuk ke Yaman, selain bercadar, aku juga memperkenalkan namaku menjadi ulya, bukan lagi zafira.

"Ohh saya Alifia" tak lama kemudian pesawat yg ku tumpangi pun terbang bebas di udara.

Selama perjalanan aku dan Alifia pun berbincang-bincang. Bahkan tak ku sangka dia berasal dari kota yang sama denganku.

Hanya saja dia empat tahun di bawah ku. Alifia orang yang asyik, membuat perjalanan kami tak membosankan.

Empat jam sebelum landing barulah kami tertidur.

***

Aku dan Alifia keluar dari pesawat pun bersama, bahkan hingga pengambilan barang ke bagasi.

Dia bahkan mengajakku pulang bersama, namun ku tolak secara halus. Sepertinya mas Mirza sudah menjemput ku.

"Mbak Ulya, itu keluargaku. Ayo kita kesana" ajaknya, membuatku terkejut melihat keluarganya.

"Bukannya itu keluarga Kiyai Hasan?"

"Oh iya mbak, Mbak kenal?"

"Siapa yang ga kenal keluarga beliau Fia. Jadi, kamu putri beliau?"

"Heheh iya Mbak, cuma dari kecil saya tinggal sama Mbah Yai" pantas saja selama ini aku tak mengenalinya.

Yang ku ketahui adik Gus Arham hanyalah Gus Ilham, yang mungkin sekarang baru lulus kuliah. Kakiku terhenti saat didepan keluarga itu.

"Assalamualaikum" sapa Alifia pada keluarganya kemudian menyalami satu per satu.

Sedangkan aku masih mencari keberadaan Mas Mirza.

"Mbak Ulya sini, ini kenalin keluargaku" dengan sedikit canggung aku pun menghampirinya.

"Eh ini mbak ipar mi?" aku pun menoleh pada wanita di samping gus Arham, seketika mata kami bertemu.
Membuatku memalingkan wajah.

Ah sepertinya, beliau sudah sembuh, juga wanita disampingnya adalah istrinya. Beliau pun terkejut melihatku, seolah mengenaliku.

"Ummi, ini Mbak Ulya, kebetulan juga dia satu kota sama kita" ummi Riana pun terkejut saat melihatku.

"Zafira? Subhanallah nduk, sekarang kamu bercadar nduk?" aku mengangguk lemah.

"Kok ummi kenal sama Mbak Ulya, terus kok Zafira si? Kan Fia bingung" tanya Alifia yang kebingungan.

"Nama Mbak, Zafira Nuril Ulya fi, sejak di Yaman, Mbak kalo kenalan sama orang nyebutin namanya Ulya" jelasku.

Tak lama aku sedikit berbincang dengan keluarga mantan tunanganku, aku pun pamit pulang terlebih dulu. Berdalih Mas Mirza menunggu di luar.

Sebenarnya abah menawarkan tumpangan untuk pulang, tapi aku menolaknya dengan halus. Sedikit tak nyaman, bahkan canggung.

Terlebih lagi gus Arham sudah menikah. Kegagalan di masa lalu itu tak membuat silaturrahmi putus diantara dua keluarga ini.

Bahkan tadi aku pun sempat berbicara sedikit dengan gus Arham dan Ning Hilda istrinya. Mungkin itu adalah hal yang langka, tapi sungguh aku sudah mengikhlaskannya.

***

Sepuluh jam terbang di angkasa ditambah lima jam perjalanan dari bandara menuju rumah, cukup melelahkan bagiku.

Tepat tengah malam aku tiba dirumah. Akhirnya, aku masih diberi kesempatan untuk melepas rindu dengan kedua orang tua ku.

Tak banyak yang berubah dari rumah ini, hanya beberapa ruangan yang bertambah perabotan.

Dulu, saat aku hendak ke Yaman, Key keponakanku masih bocah kecil berumur enam tahun.

Kini dia sudah tumbuh besar gemol, pipi bagai bakpau. Bahkan dia sudah memiliki adik perempuan. Ah cukup lama ternyata ku meninggalkan rumah ini.

***

Pagi, dihari pertama ku menghirup udara kotaku. Bersama Hilya keponakan kecilku, ku membawanya berkeliling komplek.

Cukup banyak perubahan di daerah rumahku ini. Bahkan tak jarang ku menemui tetangga baru yang wajahnya terlihat asing di mataku.

Pun begitu dengan tetanggaku yang mengenaliku, beberapa terkejut melihat perubahan pada diriku, adapula yang acuh, seolah tak mengenaliku. Dirasa cukup berkeliling, aku pun kembali kerumah.

Hari ini aku lebih memilih untuk istirahat, mungkin besok aku akan mengunjungi Al Furqan, tempatku mondok dulu.

***

Semoga bermanfaat ♥️

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang