tiga puluh dua

1.3K 106 2
                                    

"Kemana Malik?"

Ummi seketika meninggalkan kami dengan wajah sedihnya.

Abah mendekat dan membawa saya duduk di tepi kasur.

"Allah sudah memanggilnya leh" saya diam terpaku mendengar penuturan Abah.

Tidak mungkin Malik sudah tiada. Malik masih belum bahagia di akhir hidupnya.

Abah mengambil kotak kecil yang ada di nakas.

"Ini titipan Malik untuk mu" perlahan saya membukanya.

Sebuah tasbih, gelang, peci kesayangannya, dan secarik kertas.

"Mas, mungkin mas membuka ini ketika aku sudah tak lagi di dunia. Mas, maaf atas semua kesalahanku. Maaf, aku belum menjadi adik yang baik bagimu. Rezeki, jodoh, dan maut sudah diatur oleh-Nya. Maaf jika aku sempat melawan takdir-Nya. Mas, maaf aku telah merebut Zafira darimu. Sebelum aku melamarnya, Abi sudah menjelaskan padaku bahwa ada laki-laki yang mencintainya. Abi juga menjelaskan bahwa orang itu mas. Namun aku yang terbutakan oleh cinta aku tetap melamarnya, bahkan sebelum mas kembali.
Allah menyadarkan ku saat aku hendak ke Mesir dengan Zafira yang tak mau di ajak menikah. Aku sadar telah menduakan Allah, hingga Allah menegurku. Allah memisahkan kita dengan cara-Nya. Oleh karena itu, aku tak lagi mau kembali kepadanya. Mas, aku titip Zafira. Sampaikan maafku padanya. Terimakasih mas"

Ummah memeluk saya mencoba menyalurkan kekuatan.

"Abah.. saya mau ke makam Malik" Abah mengangguk dan mengantarkan saya ke makamnya.

Usai berdoa Abah menepuk pundak saya lalu berkata

"ikhlaskan dia leh, insyaallah dia Husnul khatimah. Dia memang sudah tak ada didunia. Namun hatinya selalu tertanam di tubuhmu"

"maksud Abah?"

"Sebelum wafat, dia mendonorkan hatinya untuk mu" Ya, baru ketika itu saya mengetahui kenyataannya.

Walau berat, saya berusaha mengikhlaskan kepergian Malik.

Semakin hari, kondisi saya semakin membaik. Jahitan di perut pun sudah mulai mengering.

Sejak saat itu saya memutuskan untuk tinggal di sini. Ilham yang sibuk dengan kuliahnya memutuskan untuk nyantri.

Oleh karena itu ummi merasa kesepian dan saya memilih menemaninya.

Ba'da isya' saya baru pulang dari masjid, Abah dan Ummi sudah duduk di ruang tengah.

Tak seperti biasanya, kemudian ummi mengajak saya untuk duduk juga.

"Leh, apa kamu tidak ingin menikah? Umurmu sudah hampir 28 tahun"

"Mohon maaf Abah, saya sempat bernazar ingin mengabdi di pondok kecil jika saya sembuh. Maaf jika saya baru menyampaikannya" tak ada tanggapan dari Abah dan Ummi.

"Izinkan saya bah, walaupun hanya satu tahun"

"Apa nazar mu itu diucapkan di lisan leh?" Tanya Ummi.

"Mboten mi, saya hanya mengucapkan dalam hati"

"Selama nazar tersebut tidak terlisankan bukannya tidak apa-apa untuk tidak dikerjakan nggih bah?"

"Inggih mi tidak apa-apa. Namun bukannya lebih baik untuk dikerjakan?" Saya segera menyangga pernyataan ummi.

"Ummi dan Abah sudah semakin tua leh. Dulu kembaran mu hanya sampai tunangan. Ilham masih sibuk dengan kuliahnya. Ummi hanya takut maut datang terlebih dahulu sebelum melihat anak-anak ummi menikah" saya hanya mampu diam.

Saya bingung, di sisi lain saya masih ingin nyantri, sedangkan disisi lain lagi saya tak tega melihat ummi.

"Sudahlah leh, mungkin ini memang sudah waktunya" tutur Abah.

"Saya masih belum ada calon bah"

"Apa kamu mau kami lamarkan Zafira leh?" Ucap Abah membuat saya terkejut.

Jujur saya masih mencintainya.

"Maaf bah, tapi saya takut Zafira merasa dipermainkan. Saya juga takut Zafira masih belum melupakan Malik. Saya juga takut sudah ada laki-laki lain yang meminangnya terlebih dahulu"

"Itu hanya prasangka mu leh, tidak ada salahnya kita berkunjung ke sana sekaligus silaturahmi"

"Yasudah bah, besok kita kesana"

"Ta.. tapi mi" belum sempat saya menyangga, ummi meninggalkan saya dan Abah.

"Istikharah dulu leh, minta petunjuk Allah" ucap Abah kemudian meninggalkan saya.

Keesokan harinya saya, Abah dan Ummi mengunjungi rumahnya. Sayang, saya telat lagi.

Sampean sudah ada di Yaman beberapa bulan.

Abah langsung melamarkan sampean untuk saya. Namun Abi tak berani mengambil keputusan.

Abi tak menerima lamaran itu, takut-takut sampean sudah menemukan yang lain.

Terlebih sampean tidak tahu mengenai saya.

Akhirnya saya memutuskan untuk mondok. Saya mondok di Al Furqan.

Hampir tiga tahun saya mengabdi di sana.

Suatu hari ummi mengabari bahwa Alifia hendak pulang dari Yaman. Ia menempuh strata satu disana.

Alifia lah yang tidak terlalu dekat dengan ummi. Dia lebih dekat dengan Ummah.

Ummi memintanya pulang ke sini dan Alhamdulillah nya ummah tak mempermasalahkan itu.

Akhirnya kami menjemputnya di bandara.

Sungguh takdir Allah, kami bertemu denganmu Ning. Saya menyadari jika sampean mengira saya adalah Malik dan Hilda adalah istri saya ketika itu.

Hilda memang ikut, sedangkan Ilham menjaga pesantren.

Sepulangnya Alifia, ummi kembali menyinggung tentang pernikahan. Terlebih Ilham yang sudah menikah terlebih dulu juga.

Ummi sudah tidak sabar ingin melamar sampean Ning.

Hanya saja, saya yang terlalu takut. Saya takut sampean tak mau menerima saya.

Akhirnya saya memutuskan untuk meminta kiyai Hasan untuk mencarikan jodoh.

Sungguh takdir Allah yang maha kuasa, kiyai Hasan mendapati sampean sebagai petunjuk.

Saya juga Ning, empat puluh satu kali saya mengistikharai sampean dan jawabannya adalah sampean.

Ummi mengetahui hal itu sangatlah senang. Namun hati saya masih ragu jika sampean akan menerima saya.

Tepat di hari pertemuan keluarga kita, ummi tiba-tiba pingsan. Mau tak mau saya sendiri menghadap kiyai Halim juga Abi.

Hanya baru beberapa menit kami mengobrol, ummi meminta saya kembali ke rumah sakit.

Saya sangat terkejut ketika sampean ke rumah sakit terlebih disaat ummi melamar sampean.

Tapi saya sangat bersyukur karena itu kita menikah.

Saya tak menyadari jika sampean tak tahu siapa saya sebenarnya.

Saya sadar ketika terlihat keraguan dimata sampean sejak kita menikah.

Saya terlalu takut untuk jujur Ning, saya takut sampean tak menerima saya.

Ning, saya minta maaf jika sampean selama ini merasa dibohongi.

Ning, mari kita mulai pernikahan ini dari awal, saya mohon jangan tinggalkan saya. Hanya sampean wanita yang menjadi penyemangat hidup saya saat ini. Saya mohon Ning" ucapnya menunduk.

Air mata ku sudah hendak berontak sejak tadi, namun aku tahan.

"Ma.. maaf Gus, Zafir tidak bisa"

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang