dua puluh lima

1.4K 115 3
                                    


Saat sarapan Abi masih mendiamkan ku.

Aku hanya diam, tak mampu mengawali pembicaraan. Bahkan hanya untuk menatap wajahnya pun tak ada sedikitpun keberanian.

"Mi, Bi, Zafir dan Gus Arham pulang tarlagi" ucapku memecahkan keheningan.

"Ga nanti sore aja za?" Jawab ummi.

"Emm mboten mi, di pesantren gada orang, gaenak kalo ditinggal lama-lama" ummi mengangguk paham.

Tak ada respon sedikitpun dari Abi. Bahkan beliau tak melirik sedikitpun.

Usai sarapan pun, aku dan Gus Arham pamit. Tak ada sepatah kata pun dari Abi. Beliau hanya mengulurkan tangannya untuk ku Salami.

Sungguh aku sedih di diamkan Abi seperti ini.

Selama perjalanan, aku hanya diam. Begitu juga dengan Gus Arham, beliau tak mencoba untuk mengawali pembicaraan.

***

Mobil pun memasuki pelataran pondok.

Terlihat ada mobil yang terparkir di halaman ndalem. Aku menoleh pada Gus Arham, beliau juga menggeleng tak mengerti.

Kami berdua pun masuk, pintu ndalem terbuka, namun tak ada satu pun tamu yang duduk disana.

"Zafir ke dapur dulu Gus" ucapku, sedang Gus Arham duduk di ruang tamu.

"Assalamualaikum" sapaku pada Bu Lia dan juga beberapa santri.

"Waalaikumussalam, mpun wau Ning?" Tanya Bu Lia.

"Mboten Bu, ini masuk langsung ke dapur. Oiya ini ada sedikit makanan buat nyemil" ucapku sembari memberikan beberapa makanan ringan yang sengaja aku beli tadi.

"Matur nuwun Ning, njenengan pripun? Mpun sehat?"

"Alhamdulillah Bu, ini buktinya saya sudah disini. Loh dimakan mbak itu jajannya, jangan cuma di liatin. Kalo sekiranya cukup dibagi sama temennya yang mboten pulang juga gapapa. Kalo mboten cukup nggih mboten usah"

"Insyaallah cukup Ning, Niki katah. Yang mboten pulang cuma ada sepuluh orang"

"Oalah iya sudah mbak, sana bagi ke temen-temennya" dua santri itu mengangguk kemudian pergi meninggalkan dapur ndalem.

"Bu, didepan mobilnya siapa?"

"Astaghfirullah Ning, Kulo supe mau ngasih tau. Niku enten Gus Riza dan keluarga. Cuma beliau masih ke astah terlebih dahulu"

"Gus Riza Bu?" Tanyaku seperti pernah mendengar nama itu.

"Nggih Ning, putranya kiyai Zainal". Aku merasa tak asing dengan nama itu, namun aku lupa mereka siapa.

"Ning, ada tamu diluar" Panggil Gus Arham membuyarkan lamunanku.

"Inggih Gus, Bu minta tolong dimasakin nggih" ucap ku, Bu Lia mengangguk.

"Sinten Gus tamunya?" Tanya ku saat berpapasan diruang tengah dengan beliau.

"Gus Riza"

Langkah ku terhenti saat melihat sosok tersebut.

Gus Riza yang di maksud ialah pak Riza, putra pak Zainal, bos ku waktu bekerja dulu. Namun ia tak mengenali ku.

"Ning, kenalin ini Gus Riza, putranya Kiyai Zainal. Nah kiyai Zainal niki adik bungsunya ummi Ariana" aku mengangguk paham sembari menyalami istri Pak Riza.

"Salam kenal Ning, saya Rika, ini putri pertama kami, Firla. Ini juga putra kedua kami, Shaba" ucapnya memperkenalkan diri.

"Saya Zafira, senang sekali kalian bertamu kesini" ucapku membuat pak Riza sontak menoleh.

Addawaul Qalbi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang