Rasa Yang Bersemi

678 39 3
                                    

Note: Jangan membaca cerita ini diwaktu-waktu sholat.

Syanum melangkah menuju kamar yang ditempati Hafiz dengan perasaan yang campur aduk. Disatu sisi hatinya masih terlalu berbunga-bunga untuk menghilangkan bayangan ucapan Hafiz. Namun, disisi lain ia kembali dihantui rasa takut akan kembali terluka. Kaki Syanum kembali berhenti berjalan saat sudah berada di depan pintu kamar. Ia menarik napasnya dalam-dalam dan berharap semua pemikiran negatifnya segera sirna.

"Syan?" Syanum masih diam di posisinya. Matanya masih menatap dalam mata Hafiz yang mengerut bingung melihat Syanum yang masih terpaku di depan pintu kamarnya.

"Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?" tanya Hafiz kembali mencoba menyadarkan Syanum.

Syanum hanya bisa menggigit bibirnya saat ia sudah kembali tersentak dari lamunannya. Mendongak menatap Hafiz dengan wajah malu. Untuk yang kesekian kalinya ia harus tertangkap basah oleh Hafiz.

"Eh, maaf, Mas," jawab Syanum tanpa memikirkan apa yang ia ucapkan.

"Jangan meminta maaf terus, Syan! Udah malam. Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" tanya Hafiz lagi.

Tidak ada lagi jawaban dari Syanum. ia langsung membawa langkahnya menuju ranjang berukuran besar itu. Syanum yang masih dengan mode diamnya memilih duduk di tepi ranjang sambil memilin-milin ujung jilbab yang ia kenakan.

"Syan?" Suara bariton Hafiz berhasil menyapa indra pendengarannya dan itu membuat Syanum refleks menoleh.

"Kenapa, Mas?" tanya Syanum saat retinanya sudah dapat menatap lekat mata Hafiz yang hitam pekat.

"Gak papa!" jawabnya cepat dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Syanum yang melihat tingkah aneh Hafiz hanya bisa berdiam diri.

"Mas?" kali ini Syanum yang memanggil nama Hafiz.

"Iya," jawab Hafiz lirih.

"Emangnya gak masalah kalau aku tidur di kamar kamu?"tanya Syanun hati-hati.

"Emangnya kenapa?" tanya Hafiz yang malah balik bertanya.

"Ya, gak papa sih, Mas. tapi..."jawab Syanum kembali menghentikan kalimatnya.

"Syan dengerin saya!" pinta Hafiz sambil mengangkat dagi Syanum agar ia dapat menatap manik mata itu.

"Bukankah saya yang meminta kamu untuk tidur di kamar yang sama? Bukankah saya yang meminta kamu untuk mengajarkan saya cara mencintai kamu?" tanya Hafiz menatap lekat mata Syanum.

Syanum yang mendengarkan itu hanya bisa menjawab dengan anggukan kepalanya. Bibir dan lidahnya terasa kelu untuk sekedar berucap. Hafiz kembali mendekap pipi Syanum dengan kedua tangannya. Pandangan Hafiz dan Syanum kembali beradu. Setelah sadar akan pikiran yang tiba-tiba melintas tanpa diduga itu membuat Hafiz langsung menepisnya.

"Khm!" Hafiz berdeham dan melepaskan dekapannya yang sedari tadi mendekap kedua pipi Syanum.

"Lebih baik kita tidur sekarang, sudah malam." Sambung Hafiz bergerak cepat mematikan lampu di ruangan itu.

Kelopak mata Syanum terjaga saat jam menunjukkan pukul 03.00. Perlahan Syanum berusaha mengumpulkan kesadarannya dan tepat saat matanya terbuka sempurna, ia dapat melihat wajah Hafiz yang tertidur dengan tenang di sampingnya. Begitu dekat jarak antara mereka hingga deru napas Hafiz dapat dengan jelas Syanum rasakan.

Syanum berusaha keras agar tidak berteriak dengan keras disaat seperti ini. Degup jantungnya dapat terdengar dengan jelas yang seolah mengajak waktu untuk berpacu. hingga Syanum tak menyadari tangan Hafiz tengah memeluknya erat di balik selimut itu.

"Kamu harus mulai terbiasa dengan situasi ini, Syan!" batin Syanum sambil menampar kecil kedua pipinya.

"Mas! Bangun kita salat tahajud dulu, yuk?” ucap Syanum sambil menggoyang-goyangkan tubuh  Hafiz.

"Khm!," deham Hafiz yang berusaha mengumpulkan kesadarannya.

"Aku siapin alat salatnya dulu ya, Mas," ucap Syanum yang sudah melihat Hafiz dapat mengumpulkan kesadarannya dan ia mulai menggeser tangan Hafiz yang masih memeluknya dengan erat.

Menyadari hal itu membuat degup jantung Hafiz kembali berpacu. Bagaimana bisa ia memeluk Syanum sepanjang malam dengan begitu erat? batinnya. Dengan cekatan Syanum membentang dua sajadah tak jauh dari ranjang mereka.

"Allahu Akbar." Takbir pertama mereka lakukan dengan khusyuk. Hingga rakaat terakhir mereka sudahi dengan hikmat. Keduanya bermunajad sepenuh hati kepada sang pemilik semesta.

"Assalamualaikum warahmatullah."

"Assalamualaikum warahmatullah," ucap keduanya.

"Syan?" panggil Hafiz menatap teduh wajah Syanum di bawah remangnya cahaya malam.

Syanum menoleh sambil menggapai jemari Hafiz lalu menciumnya dengan hikmat. Sebagai bukti baktinya sebagai seorang istri. Hafiz membalasnya dengan senyuman kecil yang terlihat begitu manis di mata Syanum.

Hafiz lalu mendekatkan wajahnya ke arah Syanum. Diciumnya kening Syanum dengan penih cinta. Seketika desiran hebat yang berbeda menguasai Hafiz. Kenyamanan selalu Hafiz dapatkan akhir-akhir ini. Dadanya selalu bergetar hebat bila sudah berdekatan dengan Syanum.

Pagi ini seperti biasa Syanum sudah berkutat dengan lihainya di dapur. Semua itu sudah menjadi agenda rutinnya sejak menjadi seorang istri. Kini, Syanum hanya perlu melakukan semua hal yang dilakukan setiap istri pada umumnya. Berusaha untuk mengambil hati Hafiz dan berharap akan berbalas cinta dari sang suami.

"Pagi, Mas," sapa Syanum dengan senyum merekah sempurna yang membuat hafiz ikut tersenyum melihatnya.

"Cantik!" gumam Hafiz lirih namun masih dapat didengar oleh Syanum.

"Apa Mas?" tanya Syanum memastikan.

"Hah? Gak ada apa-apa, kok," elaknya cepat. Kini wajah Hafizlah yang telah bersemu merah.

"Ya sudah, Mas mau sarapan pakai apa?" tanya Syanum yang tak lagi membahas ucapan Hafiz barusan.

"Nasi goreng aja," pinta Hafiz.

Sudah lebih dua bulan kebahagiaan menyelimuti rumah tangga mereka. Bahkan Hafiz tak lagi terlihat canggung bila berdekatan dengan Syanum. Kini Syanum telah benar-benar menjadi wanitanya seutuhnya. Hubungan keduanya semakin membaik. Meski sering kali Syanum kembali dilanda kekhawatiran akan kehadiran wanita di masa lalu itu kembali.

Imam dari Sepertiga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang