Hafiz ke luar dari kamar saat tenggorokannya terasa begitu kering. Kepalanya masih terasa begitu berdenyut. Air dingin dalam botol minuman yang selalu disediakan di lemari es seketika tandas ia teguk. Pandangannya kembali liar memperhatikan sekitaran ruang makan. Terasa sunyi, ditambah lagi beberapa jam lalu ia memaki Syanum dengan begitu kasar.
Hafiz melirik jam dinding yang bertengger di dinding dapur. Sudah hampir jam dua dini hari dan Hafiz masih belum bisa melelapkan matanya. Kepalanya masih terasa berat ditambah lagi bila mengingat Syanum yang semakin membuatnya pening. Helaan napas panjang Hafiz hembuskan. Berharap beban yang ia rasa bisa sedikit berkurang.
Setelah merasa dehaganya telah hilang, Hafiz kembali membawa langkahnya untuk ke kamar. Namun, langkahnya kembali terhenti. Retinanya kembali menuntun pandangannya ke arah tangga yang menghubungkan ke kamar Syanum. Rasa bersalah mulai merasuki hatinya. Namun, ego dan kebencian terlalu besar untuk membenarkan bisikan hatinya sendiri.
Hingga pagi mulai menyongsong hari pun Hafiz tak melihat keberadaan Syanum. ia tak lagi melihat Syanum yang selalu sibuk di dapur setelah subuh. Matanya terus saja mencari keberadaan wanita itu tapi dia tak kunjung menemukannya.
"Pagi, Mas. Maaf, aku telat bangun," ucap Syanum lirih saat melihat Hafiz yang berada di ujung anak tangga.
Matanya terlihat sembap dan wajahnya begitu pucat. Terlihat seperti mayat hidup yang dipaksa untuk berjalan.
"Kamu sakit?" tanya Hafiz yang menatap lekat wajah pucat milik Syanum.
"E..enggak, gak kok, Mas. Cuma kurang enak badan aja. Mas, mau sarapan apa? Biar Syan buatin," jawabnya berdalih menyembunyikan kesakitan yang teramat besar di hatinya.
"Gak usah masak hari ini, kita pesan aja. Muka kamu pucat banget," gumam Hafiz sambil melenggang menuju ruang keluarga.
"Tapi aku masih kuat buat masak kok, Mas," potong Syanum tak mau kalah.
"Bisa tidak sekali saja kamu mendengarkan perkataan saya, Syan?" bentak Hafiz sambil memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.
"Maaf, Mas," sahut Syanum yang kembali merasa ingin menangis.
"Mas! Aku boleh izin untuk nginap di rumah umi, gak?" tanyanya penuh kehati-hatian.
"Terserah kamu," jawabnya ketus.
Meski bukan dengan nada suara yang tak bersahabat tapi Syanum bersyukur bila Hafiz mengizinkannya untuk menginap.Setidaknya untuk sementara waktu ia bisa menenangkan pikirannya. Berharap dengan menyendiri ia bisa menentukan pilihan yang tepat untuk hubungan pernikahannya itu.
"Aku langsung berangkat pagi ini, Mas," gumam Syanum kembali dan langsung kembali ke dalam kamarnya.
Hafiz hanya bisa menatap punggung itu berlalu meninggalkannya. Ia dapat merasakan hawa yang berbeda dari Syanum pagi ini. Namun, dia kembali mencoba mempungkiri semua bisikan hatinya. Hafiz menarik dirinya kembali dalam kejadian semalam, kejadian di mana dia memaki Syanum dengan kata-kata yang tak seharusnya ia ucapkan.
Setelah mendapatkan izin dari Hafiz, Syanum langsung mengemasi beberapa barang yang ia perlukan. Saat ini yang ia inginkan hanya kehangatan dari keluarganya. Sejenak melupakan masalah yang menggerogoti hatinya akhir-akhir ini.
"Aku berangkat, Mas. Asalamualaikum," pamit Syanum sambil menyalami tangan suaminya.
"Waalaikumsalam," jawab Hafiz dan kembali menatap punggung Syanum yang semakin menjauh.
Beberapa menit yang lalu Hafiz mendapat telfon dari uminya. Wanita itu selalu saja menanyai keadaan menantu kesayangannya itu. Namun, Hafiz merasa khawatir bila sang umi sampai mengetahui bangaimana keadaan rumah tangganya yang sebenarnya. Pertanyaan demi pertanyaan dari wanita itu semakin membuat Hafiz pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam dari Sepertiga Malam
Spiritüel[Bila Berkenan Follow Dulu Ya Sebelum Membaca] Romance-Spiritual . . Gadis berparas ayu dengan senyum yang selalu merekah bak matahari, ya dia adalah syanum wardatul arsy. gadis yang memiliki kisah cinta dalam diam di masa Smanya. terungkapnya rasa...