Menolak dia yang datang

614 63 0
                                    

note: jangan membaca cerita ini di waktu-waktu sholat.

"Sungguh wanita mampu menyembunyikan cinta selama 40 tahun.
Namun, tak sanggup menyembunyikan cemburu meski sesaat.
( Ali Bin Abi Thalib)

🌸🌸🌸


"Mungkin seperti kata-kata itulah hatiku saat ini. Namun, bukan menyembunyikan rasa atau cemburu yang aku alami saat ini. Melainkan menjaga hati dan kesetiaanku untuk dia yang masih kuperjuangkan," gumam Syanum menatap luruh ke langit lepas.

Sudah hampir tiga tahun kepergiannya. Bukan pergi untuk menorah luka. Namun, pergi untuk menjemput masa depannya di negri orang itu. Sampai detik ini Syanum masih setia dengan rasa itu. Menunggu dia pulang, meski waktunya ia tak tahu. Dua tahun dia pergi dan sudah satu tahun pula Syanum menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama di ibu kota.

“Mi, Bang Azzam kapan balik, sih?” Rengek gadis berkerudung itu sambil menuruni anak tangga dan bergelayutan manja di lengan wanita paruh baya itu.

“Besok pagi, kok, Dek. Tumben kamu nanya-nanya kapan abangmu pulang dari luar kota, biasanya juga kamu cuek aja. Pasti ada apa-apa ni ya, 'kan?” Selidik wanita paruh baya itu kepada Syanum.

Dia tau pasti kalau anak bungsunya ini kalau sudah seperti itu pasti ada sesuatu yang ia inginkan dari abangnya itu.

“Iii, Umi, gak kok. Cuma kangen aja gak ada teman kelahi,” protesnya sambil mengeluarkan cengirannya.

“Dasar, kamu itu ya, dek, udah mau 20 tahun juga.” Geleng uminya itu.

“Masih 3 bulan lagi Umii, jadi sekarang itu Syan masih 19 tahun,” jawabnya tak terima ketika uminya mengingatkannya akan umurnya yang sudah mau menginjak usia 20 tahun itu.

“Iya deh, iya, oh iya Nak Rifai gimana Dek? Kamu masih kontakan sama dia, kan?” Tiba-tiba saja uminya itu bertanya tentang pujaan hatinya itu, tidak seperti biasanya uminya itu bertanya tentang lelaki itu yang dia tau hanya bang azzamlah yang selalu usil dengan menanyakan kapan laki-laki itu pulang.

“Dia baik kok, Mi, Syan juga masih kontakan sama dia kok, walau gak sering,” jawabnya jujur saja pada uminya itu.

“Hmm, orang tuanya juga ikut pindah ke Belanda, ya Dek?" tanya wanita paruh baya itu kembali.

“Iya Mi, Kak Rifai cuma punya ibu, ayahnya udah lama meninggal, jadinya mereka pindah ke sana deh.” Saat mengatakan hal itu Syan merasa bersalah kepada uminya karena hanya bercerita sekedarnya tentang laki-laki itu dan tak pernah menceritakan tentang keluarganya.

“Oo, gitu ya, Umi kira orang tuanya masih di Indonesia. Kan bisa gitu, umi ketemuan sama calon besan.” Goda uminya yang melihat perubahan raut wajah putrinya itu.

“Iii, Umi, ada-ada aja deh,” sungut syanum yang salah tingkah mendengar penuturan umunya itu.

“Oh ya, Dek, kamu gak ke kampus?” tanya uminya lagi.

“Ini hari minggu Umiku sayang. Masak hari minggu, gak ada jadwal Umi nyuruh anak Umi yang sholehah ini ke kampus sih,” jawabnya dengan sifat manjanya yang sudah kembali.

“Oh iya, Umi lupa, Syan Umi ada janji mau ketemu sama Tante Rima nih kamu mau ikut gak?”

“Hmm, Umi aja deh. Syan lagi males gerak,” cengirnya yang di tanggapi gelengan dari uminya.

Imam dari Sepertiga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang