04. Malam

85 29 7
                                    

Orang yang paling terlihat kuat di depan khalayak, adalah orang yang tak berdaya di depan dirinya sendiri.

●○●○●

"Mau ke mana, Ji?" tanya Adya sambil sedikit memajukan kepalanya.

"Lo maunya ke mana?" balas Aji balik bertanya. Ia dapat mendengar suara Adya dengan jelas karena laju motornya sengaja ia pelankan.

Adya berdecak geram, lantas menjawab, "'Kan lo yang ngajak, ya terserah, lo."

"Kalau ke KUA emang mau?" Dengan tatapan tetap fokus ke depan, Aji menahan senyumannya. Tapi sayangnya, dari kaca spion, bukan wajah merona Adya yang ia temukan, melainkan wajah jijik Adya.

"Lawak, lo!"

Aji terkekeh. "Kenapa sih, Dya? Lo gak pernah baper sama gue," lanjutnya bertanya. Entah 'lah, tiba-tiba ia penasaran akan hal itu. Saat awal kenal, mungkin Adya pernah merona akan gombalannya, tapi semakin ke sini seiring dengan hubungan mereka yang bisa disebut sahabat, tak pernah sekali 'pun Aji melihat itu. Malah, yang selalu ia dapatkan adalah berbagai macam cibiran.

"Ganti topik, deh! Apaan sih itu?!" protes Adya merengut.

"Tinggal jawab aja apa susahnya, sih?!"

"Ya karena lo udah gue anggap sahabat, buat apa gue baper sama, lo?!" jawab Adya cepat. "Puas?" imbuhnya geram.

"Gitu, ya? Padahal, banyak tau orang yang baper sama sahabatnya sendiri. Kalo gak salah namanya temzon." Aji menyuarakan apa yang diketahuinya.

"Friendzoneee!" Sungguh, Adya sangat geram pada lelaki di depannya ini. "Kalo nggak tau, diem aja deh! Gak usah ngomong!" ucapnya sarkastik.

"Cuma beda dikit elah," timpal Aji tidak mau kalah.

"Serah, lo!" Adya melipat kedua tangannya di depan dada. Sekarang, ia akan memilih untuk diam sambil memandang sekitar jalan yang ramai dan berwarna oleh lampu daripada berbincang dengan Aji yang akhirnya menimbulkan debat.

Motor Aji berhenti di sebuah taman kota. Adya turun sambil menatap sekitar. Seingatnya, terakhir ia ke tempat ramai ini adalah beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang, sudah banyak perubahan.

Aji melepaskan kunci motornya dan ikut turun dari atas motornya. "Dingin, ya?" tanyanya melihat Adya mengeratkan cardigannya. Adya menoleh. "Gue ada sarung bekas waktu itu sholat di masjid tuh di dalem boks motor," lanjutnya tampak tulus. Padahal dalam hatinya, ia tengah cekikikan sambil menunggu respon Adya.

Adya menatap Aji tak habis pikir. "Lo mau gue diketawain orang?"

Aji tertawa lebar, lantas merangkul pundak Adya yang lebih pendek darinya sambil melangkah maju memasuki taman. "Becanda! Nanti kalo emang udah dingin banget, pake aja kaos gue juga. Biar gue yang bertelanjang dada," ucapnya malah berbangga diri.

Adya mendengus keras.

"Mau jajan apa?" tanya Aji setelah tawanya reda. "Biar gue yang bayarin."

"Serius?!"

"Iya, Sayang."

"Najis!"

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang