Hari ini adalah saat di mana kamu memperbaiki kemarin dan menyiapkan esok.
●○●○●
Malam ini, entah kenapa pikiran Adya dipenuhi oleh sosok Zion. Ia pikir, Zion adalah orang hebat yang pastinya hidup bahagia. Tapi setelah diingat-ingat, Zion tampak tidak pernah ceria. Bahkan, ekspresi yang sering cowok itu perlihatkan adalah datar.
Sikap Zion pada cewek-cewek yang mengaku fans-nya 'pun selalu dingin, bahkan terkesan menjauh. Tidak pernah sekali 'pun terlihat cowok itu tengah bercengkrama dengan fans-fans-nya yang mengaku menyukai tulisannya ... padahal wajahnya. Ya, Adya tahu cewek-cewek itu hanya modus.
Adya meraih ponselnya, kemudian mencari username Zion di sebuah aplikasi bernama Instagram. Tak butuh waktu lama, Adya sudah menemukannya karena ia mengikutinya. Isinya tidak terlalu menarik, hanya ada beberapa fotonya sendiri dan fotonya bersama keluarga besarnya.
Adya mengatupkan bibirnya. Sayang sekali. Jika ia menjadi Zion, sudah pasti ia akan memenuhi akunnya itu dengan banyak hal berbau literasi atau mempromosikan karyanya. Tapi Zion, dia seperti tidak antusias sama sekali.
Adya mengklik salah satu foto. Ditatapnya Zion yang tengah berpose meminum kopi. Tidak dapat dipungkiri, Zion memang tampan. Kulit putihnya, alisnya yang cukup tebal, mata coklatnya, hidung mancungnya dan rahangnya yang tegas membuatnya terlihat sangat menawan dan cool. Aji 'pun kalah.
Namun, jika soal manis, mungkin Aji yang akan menang. Apalagi, cowok itu sangat suka tersenyum dan menampilkan sederet gigi putihnya.
Sudut bibir Adya terangkat ke atas. Ia jadi teringat jika Aji termasuk ke dalam golongan cogan SMA Bangga.
Adya menyudahi aksinya dan menaruh ponselnya sembarangan di atas kasur. Ia menyingkap bagian selimut yang menutupi bagian kakinya, kemudian turun dari atas kasurnya.
Dilangkahkannya kakinya ke arah meja belajarnya dan duduk di atas kursi yang tersedia di sana. Ia meraih sebuah notes dan mulai menulis. Sesekali, ia mengetuk-ngetukkan pensil ke kepala atau memandang ke atas jika mencari ide.
Pasti kalian bertanya-tanya kenapa Adya tetap menulis meskipun orangtuanya tidak suka akan itu? Bagi Adya, menulis adalah hidupnya. Ia sudah suka menulis sejak kecil yang membuatnya tidak semudah itu untuk meninggalkan hobinya satu itu. Jadi, meskipun ia sudah dilarang, ia akan tetap melakukan walaupun tak sesering sebelumnya.
Kali ini yang ia tulis adalah sebuah quotes. Entah kenapa malam ini imajinasinya lebih mengarah ke sana--sepertinya karena memikirkan Zion, bukan meneruskan cerpen yang Aji baca tadi siang di sekolah.
Di dalam quotes yang cukup panjang itu, Adya menyuarakan isi hatinya tentang kisah pelik hidupnya. Menurutnya, tidak ada teman cerita yang lebih baik dari kertas dan pulpen, dan Tuhan tentunya.
Suara ketukan di pintu mengalihkan atensi Adya. "Masuk aja," sahutnya. Tak lama kemudian, Rengkuh masuk ke dalam kamarnya.
"Lagi ngapain, Kak?" tanya Rengkuh sambil berjalan mendekat. "Nu ... lis?" lanjutnya tak percaya setelah melihat apa yang tengah Adya lakukan. "Kalau Mama sama Papa tau, gimana?" Kentara sekali, cowok itu gelisah.
"Ini cuma quotes kok, Kuh," jawab Adya.
Rengkuh tampak lega. Sebenarnya, bukan kemarahan orangtuanya 'lah yang paling ia takutkan, tapi keterpurukan Adya. "Makan malem, yuk, Kak? Mama sama Papa udah nunggu di bawah," ajaknya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE [SUDAH TERBIT]
أدب المراهقين"Menulis bukan segalanya, kok, Dya." Adya tersenyum nanar menggumamkan kalimat singkat itu. Semua itu jelas sebuah kebohongan. Sebab baginya, menulis adalah segalanya, dunia literasi adalah jalan hidupnya, dan alat tulis adalah temannya bercerita. N...