10. Keputusan

56 21 1
                                    

Semoga, dengan mengambil keputusan ini, semuanya akan jauh lebih baik.

●○●○●

Adya tersenyum senang saat memasuki kelasnya. Di sana, di samping kursinya, Aji sudah terduduk dengan senyuman lebar yang menyorot langsung padanya. Senyuman yang ia rindukan sejak kemarin.

"Sini!" Aji melambai-lambaikan tangannya pada Adya.

Adya segera mendekat dan duduk di kursinya. "Makasih buat yang kemarin." Iya, Rengkuh sudah memberikan titipan Aji plus menyampaikan jika itu dari Aji. Dan ia senang bukan main saat itu.

Aji mengangguk, tapi kemudian senyumannya memudar. "Maafin ya, Dya, sikap gue kemarin," ujarnya sarat akan rasa bersalah. "Gue juga nggak ada pas lo butuh temen." Sungguh, ia merasa gagal menjadi seorang sahabat. Biasanya, Adya selalu cerita atau menelponnya jika ada masalah dengan orangtuanya. Tapi kemarin, karena dirinya egois dan merasa dikecewakan, ia mengacuhkan Adya sampai gadis itu sungkan untuk bercerita lagi padanya. Sahabat macam apa dirinya?

Adya tersenyum mendengar penuturan Aji yang kentara sekali ketulusannya. "Gue paham, kok. Lo nggak perlu minta maaf. Lagian, yang salah itu gue." Ia terkekeh kecil. "Maaf, ya."

"Apaan sih?! Gue nggak boleh minta maaf, lo-nya malah minta maaf," tukas Aji kesal.

"Ya 'kan gue duluan yang salah."

"Tapi gue juga salah!"

"Ya udah."

"Udah apa?"

"Kita berdua yang salah!" ucap Adya geram.

Tapi kemudian Aji yang tadinya tampak kesal, malah tertawa, lantas mengacak-acak rambut Adya yang hari ini dikuncir kuda. "Iya-iya." Tatapannya menyorot penuh pada mata Adya bersamaan dengan ia menurunkan lengannya dari puncak kepala Adya. Ia baru sadar jika ada yang berbeda dari mata gadis itu. "Mata panda? Lo kurang tidur?" tanyanya khawatir.

Seketika, Adya menyentuh kelopak matanya dengan kikuk. "Ini ...." Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, kemarin malam, setelah bangun, membersihkan badan dan makan makanan pemberian Aji maupun Rengkuh, ia tidak dapat tidur lagi sampai pagi meskipun sudah meminum obat tidur.

"Ini apa?! Kenapa?!" Aji tampak tak sabaran.

Adya masih belum menemukan alasan apapun.

"Nggak bisa tidur karena itu?" 'Itu' yang Aji maksud adalah Adya yang dimarahi papanya sebab ketahuan masih menulis.

Terlanjur, Aji sudah dapat menebaknya. Mengelak 'pun susah dan akan terlihat sekali kebohongannya. Adya akhirnya jujur. "Iya, sedikit," ringisnya.

Aji menghela nafas. "Yaudah, ke UKS aja, nggak usah ikut belajar dulu."

"Nggak ah, di UKS sepi," jawab Adya lemas.

Tiba-tiba, Aji menarik kepalanya ke dalam dekapan. "Tidur di sini aja kalo gitu, biar anget," ucapnya sambil memejam.

Adya bergerak-gerak minta dilepaskan. "Apaan sih, Ji?! Lepasin, ih! Malu tau." Dan akhirnya terlepas. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang