Mengakui salah tidak akan membuatmu terlihat rendah.
●○●○●
Adya berjalan cepat ke arah gerbang sekolahnya. Ia ada janji nonton dengan Aji sore ini, tapi ia terpaksa meminta Aji berangkat dan membeli tiket terlebih dahulu sebab dirinya ada urusan mendadak dengan organisasi yang kini tengah diembannya sejak bel pulang berbunyi.
Adya melirik jam tangannya, sudah 20 menit terlewati sejak ia meminta Aji berangkat terlebih dahulu. Pasti Aji tengah kebosanan menunggunya sekarang.
"Berapa kali Papa bilang, jangan menganggap lomba itu sepele!"
Adya mengerutkan dahinya mendengar suara bernada membentak tersebut. Hatinya bertanya-tanya, "Siapa yang lagi marah?"
PLAK!
Mata Adya memelotot mendengar bunyi tamparan keras dari arah yang sama dengan suara bentakan tadi. Dengan jantung berdetak kencang, ia berjalan mengendap-ngendap mencari sumber suara tersebut.
Di balik benteng sekolahnya, ia menyandarkan tubuhnya, bersiap melihat orang yang ada di balik sana. Ia menghela nafasnya sekali, lalu membalikkan tubuhnya.
Alangkah terkejutnya Adya saat melihat siapa orang yang ada di balik sana. "Zion!" Ya, salah satu diantaranya adalah Zion. Cowok itu memalingkan wajahnya dari laki-laki paruh baya berjas yang berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan tajam. Adya juga dapat melihat dengan jelas pipi Zion yang memerah akibat tamparan tadi.
"Bagaimana 'pun caranya, Papa tidak mau sampai mendengar kabar kekalahan kamu dalam lomba itu!" ucap laki-laki paruh baya itu dengan tegas, lantas masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Zion tanpa sepatah kata pamit 'pun.
Zion berbalik sambil mengusap wajahnya dengan kasar setelah mobil itu melaju cukup jauh. Dan tepat saat itu, matanya bertemu dengan manik mata milik Adya.
Adya tidak tahu harus berbuat apa sekarang, ia sudah terlanjur ketahuan. Lagipula, rasanya ia tak tega berpura-pura tak tahu apa-apa dan meninggalkan Zion begitu saja. Akhirnya, ia keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Zion.
Zion memalingkan wajahnya sekilas. Lagi, Adya yang melihat hal ini.
"Maaf." Adya menunduk di hadapan Zion.
"Lo liat semuanya?" tanya Zion datar.
Adya mengangguk. Jujur, sekarang ia malah takut Zion akan marah padanya.
"Itu Papa gue." Tanpa disangka, tak ada nada marah sedikit 'pun dalam ucapan Zion. Malah, suara cowok itu terdengar lemah. "Lo udah terlanjur tau semuanya, jadi buat apa gue tutup-tutupin?"
Adya mengangkat kepalanya. "Lo nggak marah?" tanyanya ragu-ragu.
Zion menggeleng.
Adya tersenyum. Namun detik berikutnya, matanya malah terasa panas. Hatinya ikut sakit melihat Zion seperti ini. Sama sepertinya.
"Lo belum balik? Ayo sekalian," ucap Zion tiba-tiba sambil hendak melangkah. Namun tiba-tiba, Adya memeluknya yang membuatnya mematung.
"Lo bisa jadiin gue tempat lo cerita, lo boleh samperin gue kapan aja kalo lo butuh temen, lo boleh anggap gue sahabat," ucap Adya sambil tetap memeluk Zion. Kemudian, ia melepaskan pelukannya dan menyeka sedikit air yang ada pada pelupuk matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE [SUDAH TERBIT]
أدب المراهقين"Menulis bukan segalanya, kok, Dya." Adya tersenyum nanar menggumamkan kalimat singkat itu. Semua itu jelas sebuah kebohongan. Sebab baginya, menulis adalah segalanya, dunia literasi adalah jalan hidupnya, dan alat tulis adalah temannya bercerita. N...