Ada saatnya di mana semuanya terasa sangat membebani sampai hati tak kuasa untuk menampung lagi.
●○●○●
Di sini Adya sekarang, duduk di atas kursi yang tersedia di depan toko obat yang dimasukinya beberapa menit lalu. Ia menatap orang di sampingnya dengan sorot mata kasihan bercampur cemas. "Jadi, kenapa lo bisa sampe kayak gini?" tanyanya. Jujur, ia sangat tidak menyangka sosok ini akan ada di dekatnya dengan keadaan yang terbilang tidak baik.
Zion menunduk. Ia malu. Ia sangat malu. Dalam hatinya ia protes kenapa harus cewek ini yang notabenenya teman sekolahnya yang ia temui.
"Zion?" tegur Adya.
Zion menoleh.
"Percaya sama omongan gue, gue bisa lo percaya," kata Adya mencoba meyakinkan. Ia tahu, disaat-saat seperti ini, Zion pasti membutuhkan pendengar yang baik.
Zion terdiam sambil menatap manik mata Adya yang kentara ketulusannya. Belum pernah sebelumnya ia bercerita masalah hidupnya pada orang lain, tapi jika terus begitu, lama-kelamaan sepertinya ia tidak akan kuat. Semakin lama, semuanya bukan membaik, tapi menyiksa.
"Gue tau, sekarang lo pasti sebenernya butuh temen curhat. Karena, ada saatnya hati udah nggak bisa nampung lagi." Disertai senyum simpulnya, Adya berujar dengan kata-kata puitis.
Zion memalingkan wajahnya. "Gue nggak yakin ada manusia yang bisa ngertiin orang lain." Ya, selalu itu yang terlintas di pikirannya jika tengah membahas yang namanya manusia.
Hati Adya rasanya tertohok mendengar sederet kata barusan. Dari kalimat itu saja, rasanya ia tahu jika yang menimpa Zion tidak 'lah ringan. Dengan pikiran jernih, ia menjawab, "Gue juga nggak yakin dulu. Tapi setelah gue punya sahabat, asumsi itu berubah. Faktanya, nggak semua orang kayak gitu. Ada sebagian yang bisa jadi teman dan pendengar yang baik disaat bersamaan." Oke, Adya sudah merasa menjadi seorang motivator sekarang.
Zion terdiam. Apakah apa yang dikatakan gadis di sebelahnya itu benar?
"Masalah seberat apapun rasanya akan lebih ringan kalo kita udah cerita sama orang lain."
"Gue ambil jalan haram ini karena udah nggak kuat sama semuanya. Gue cape. Gue cape dikekang terus. Dipaksa lakuin apa yang Papa gue minta." Oke, Zion merasa apa yang semua Adya katakan itu benar. Ia butuh teman cerita dan Adya bisa mengertikannya. Ia menoleh pada Adya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jadi, karena orangtua?" Adya mengerjap. Pikirannya berkata apakah Zion sama sepertinya? "Lo dilarang nulis?"
"Dipaksa nulis."
Adya terkejut? Jelas. Jadi selama ini, sosok Zion yang terkenal akan prestasi menulisnya adalah seorang anak broken home yang dipaksa menulis oleh orangtuanya? Adya merasa sesak. Kenapa begini? Disaat ia dilarang keras menulis oleh orangtuanya, Zion malah sebaliknya.
"Gue cape, dia nggak pernah mau ngertiin gue."
"Dia nuliin telinganya dan butain matanya setiap gue terpuruk sama semuanya."
"Kadang dia kayak bukan orangtua!"
Adya terdiam mematung dengan tatapan fokus ke depan. Hatinya bertambah sesak. Setiap perkataan Zion, menerobos masuk dan menusuk hatinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/245938399-288-k379527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Menulis bukan segalanya, kok, Dya." Adya tersenyum nanar menggumamkan kalimat singkat itu. Semua itu jelas sebuah kebohongan. Sebab baginya, menulis adalah segalanya, dunia literasi adalah jalan hidupnya, dan alat tulis adalah temannya bercerita. N...