Selagi kamu mau berpikir dan berusaha, pasti akan ada jalan untuk pijakan.
●○●○●
Sore ini, Aji duduk di atas sofa ruang keluarga rumahnya. Matanya menyorot pada televisi yang menayangkan sebuah acara kartun binatang laut yang dapat bicara bak manusia. Sedangkan pikiran dan hatinya, berkelana entah ke mana.
Sejak beberapa hari yang lalu, tepatnya sejak Adya menceritakan tentang masa lalu mamanya, pikirannya menjadi tidak bisa tenang. Misalnya dipenuhi pertanyaan bagaimana caranya ia dapat mencari jalan keluar untuk Adya?
Ia mengusap wajahnya kasar. Ternyata tidak semudah itu mencari jalan keluar. Ia harus berpikir keras yang pada akhirnya membuat kepalanya terasa pening.
"Assalamu'alaikum!"
Aji mendongakkan kepalanya begitu mendengar ucapan salam yang familiar di telinganya dari balik pintu utama rumahnya. Ia bangkit dari duduknya dan segera membukakan pintu. "Wa'alaikumussalam." Ia tersenyum cerah mendapati kakaknya dan keluarga kecilnya berada di sana. Ia menyalami lengan kakaknya dan kakak iparnya, lantas mencubit pelan pipi tembam ponakan kecilnya yang berada di gendongan sang kakak. "Hallo, Neng Cantik." Dia adalah putri kecil kakaknya yang baru lahir ke dunia sepuluh bulan yang lalu. Namanya, Meyra. "Masuk, Kak." Kemudian, ia mempersilahkan keluarga kecil itu untuk masuk ke dalam.
"Ayah mana?" tanya Tika sambil mendudukkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. "Kerja? 'Kan hari minggu," lanjutnya seraya mengerutkan kening.
"Bukan, lagi ketemuan sama temennya nu baru balik lagi ka Indo." Aji menjawab dengan sedikit menggunakan bahasa Sunda tanpa menatap kakaknya. Ia lebih tertarik menjahili keponakannya.
"Siapa?"
"Mana Aji tau."
Tika berdecak. Tapi kemudian, ia menyodorkan Meyra pada Aji. "Nih, bisa teu gendongnya? Teteh ek masak. Belum makan 'kan kamu?"
Aji memundurkan tubuhnya. "Ih! Ka A' Burhan bae," tolaknya. Ia merasa belum mampu menggendong anak sekecil itu. Daripada nanti terjadi apa-apa, lebih baik ia menolaknya meskipun sebenarnya ia ingin.
Lagi, Tika berdecak. Ia memberikan putrinya pada suaminya. "Nitip, A'. Neng mau masak dulu sebentar. Kasian nih Si Tengil kayaknya belum makan." Setelah putrinya benar-benar ada di gendongan suaminya, ia bangkit dari duduknya.
"Si Tengil saha maneh, Teh?" protes Aji. ("Si Tengil siapa kamu, Kak?")
"Maneh!" balas Tika, lantas melenggang ke dapur meninggalkan suaminya, putrinya, dan adiknya yang mencebik kesal. ("Kamu!")
"A'," panggil Aji pada Burhan.
Burhan menoleh. "Hm?"
"Kuatan ya Aa, nikah sama Teteh," ucap Aji meringis. Pasalnya yang ia lihat, kakak dan kakak iparnya ini mempunyai kepribadian yang saling bertolakbelakang.
Burhan terkekeh pelan. "Kenapa emangnya Teteh kamu?"
Aji menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya gitu ... pecicilan, petakilan, banyak omong, gak mau di ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja"Menulis bukan segalanya, kok, Dya." Adya tersenyum nanar menggumamkan kalimat singkat itu. Semua itu jelas sebuah kebohongan. Sebab baginya, menulis adalah segalanya, dunia literasi adalah jalan hidupnya, dan alat tulis adalah temannya bercerita. N...