01. Patah

259 39 31
                                    

Sebab luka dan patah hati banyak tercipta dari hal kecil menyakitkan yang dilakukan orang tersayang.

●○●○●

"Dya, daripada karya-karya lo itu basi di buku atau memo hape, mendingan  di-publish aja di sosmed. 'Kan bermanfaat tuh, ada yang baca."

Sambil berjalan menuju parkiran sekolah, Adya menatap sekilas seorang laki-laki yang berjalan tepat di sampingnya. "Gue belum siap." Selalu jawaban itu yang keluar dari bibirnya. Dan memang benar begitu adanya.

"Itu mulu alesannya! Bosen gue!"

"Udah deh, Ji ...."

Aji Reynanda Putra, laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang yang merupakan sahabat Adya sejak kelas sebelas itu berdecak geram. "Udah-udah?" cibirnya. "Kalo gini terus, kapan lo mau majunya, Dya?!"

"Iya, gue juga tau! Tapi, kalo gue-nya belum siap, gimana? Maksain? Nggak akan bener!" balas Adya terdengar frustasi.

Aji menghembuskan nafasnya cukup kencang, mencoba menetralkan emosinya. Kemudian, dengan suara yang lebih tenang, ia berkata, "Bukannya gue mau ikut campur, tapi sayang kalo hobi lo itu dipendem terus. Apalagi ini, naskah-naskah karya lo itu keren-keren semua. Gue aja yang gak suka baca, bisa sampe suka kalo bacain karya lo."

Adya mendesis geram. "Alah ... apaan sih lo, Ji? berlebihan."

"Gue bicara fakta."

"Udah ah, ganti topik! Tadi gue udah pusing sama matematika, jangan nambahin pusing lagi pake ngomongin yang beginian." Adya mempercepat langkahnya.

Aji segera menyamakan langkahnya dengan Adya. "Ya udah, ganti topik. Gue lagi ada duit nih, mau traktiran gak?" tawarnya tulus.

Seketika, Adya menghentikan langkahnya dan menatap Aji dengan mata berbinar. "Traktiran?! Pake nanya! Mau 'lah!" jawabnya kelewat bersemangat. "Mie ayam lima porsi, ya?" Ia mengedip-ngedipkan matanya merayu.

"Ha?!" Aji ikut menghentikan langkahnya.

Adya terkekeh. "Buat konten mukbang di IG. Siapa tau gue bisa viral karena itu." Kemudian, ia tertawa lebar.

Aji menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. "Dasar!"

"Boleh ya, Ji?" tanya Adya memastikan.

"Boleh." Aji mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi yang empatnya bayar sendiri."

"Aji!!!"

-----

Setelah turun dari motor Aji, Adya mengusap-usap perutnya yang tampak lebih berisi. "Kayaknya kuat nih kalo nggak makan sampe tahun depan juga," ucapnya disertai kekehan.

"Iya kuat, di dalem kuburan tapi." Sambil melepaskan helm-nya, Aji menimpali.

"Mati itu 'mah namanya!" cibir Adya.

"Siapa yang bilang dangdutan?"

Adya mencebikkan bibirnya kesal, tapi kemudian tertawa. Begitu 'pun dengan Aji.

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang