Tanpa sadar, rasa takut dan ragu itu yang menyebabkanmu diam di tempat dan perlahan mundur tanpa memikirkan maju.
●○●○●
Entah hanya kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan, Adya kembali dipertemukan dengan Zion yang membuatnya bercengkrama dan mulai akrab dengan cowok itu.
Saat ini, keduanya tengah duduk berhadapan di sebuah kafe. Sepulang sekolah tadi, Adya datang ke kafe ini karena ingin menyendiri sebab Aji tengah berlatih futsal bersama teman-temannya. Tapi tanpa diduga, ia malah dipertemukan dengan Zion yang juga tengah menyendiri di sini. Apalagi, Zion yang memintanya untuk duduk bersamanya saja.
"Lucu, ya? Disaat lo dipaksa, gue dilarang," ujar Adya setelah sebelumnya ia bercerita tentang dirinya yang dilarang menulis oleh orangtuanya. Ia tersenyum miris, begitu 'pun dengan Zion.
Kini tanpa sadar, Adya menganggap Zion sebagai temannya sampai-sampai ia bercerita soal itu yang sebelumnya hanya ia ceritakan pada Aji seorang.
"Harusnya lo ada di posisi gue," tukas Zion masih dengan senyum mirisnya dan tangannya yang sedari tadi terus mengaduk es teh manis yang ada di hadapannya.
"Iya, harusnya kita tuker posisi," kata Adya membenarkan. "Atau ... kita anak yang ketuker?!" Kali ini dengan ucapan asalnya, Adya tertawa miris.
Zion hanya mendengus.
Kemudian, beberapa menit terlewati dengan keadaan hening sampai akhirnya Zion kembali bersuara. "Kenapa lo nggak publish karya-karya lo itu di sosial media? Bukannya kemungkinan orangtua lo tau soal itu cukup kecil," tanyanya bercampur menyarankan.
Adya terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Gue belum siap." Ya, selalu itu.
"Takut?" Zion mengangkat sebelah alisnya. Sebagai seorang penulis, ia juga tahu akan hal itu karena dulu ia pernah takut karyanya tidak disukai khalayak dan berakhir tubuhnya menjadi tempat pelampiasan kemarahan papanya.
Meski sedikit ragu, Adya akhirnya mengangguk.
"Sampe kapan 'pun lo nggak akan maju dan nggak akan bisa buat orangtua lo percaya lo mampu kalo gitu!" ucap Zion sarkas yang membuat Adya mematung di tempatnya.
Adya memejamkan matanya sejenak, kemudian menjawab dengan suara lemah, "Gue cuma nggak mau rasa takut itu akhirnya bikin gue berhenti." Jeda sejenak. "Nulis adalah temen gue dari kecil. Cuma dia dan Tuhan yang ada buat gue disaat semua manusia-manusia itu egois dan nggak mau mgerti!" Bersikeras Adya menahan lelehan air yang siap tumpah dari pelupuk matanya.
Zion terdiam, memberi waktu pada gadis di hadapannya untuk mengeluarkan segala unek-uneknya.
"Jujur, gue takut, sangat takut sama komentar negatif orang lain terhadap sesuatu yang gue buat. Gue tau kalo manusia mau nggak mau harus denger pendapat baik atau buruknya dari orang lain, tapi gue sulit terima pendapat buruk mereka. Karya gue adalah salah satu hal tersensitif dalam hidup gue. Pendapat buruk atau komentar negatif tentangnya, bisa jadi boomerang yang akhirnya bikin gue jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan melebihi saat gue jatuh oleh sikap orangtua gue." Tidak dapat tertahankan, beberapa tetes cairan bening mengalir tanpa terkendali dari mata Adya. Segera, ia menyekanya supaya tidak terlihat terlalu menyedihkan di hadapan orang yang mungkin sebenarnya kisah hidupnya lebih pelik daripada dirinya.
"Gue paham. Tapi sampe kapan lo bakal takut terus? Sampe kapan lo mau diem di tempat? Cuma buat karya yang nggak bermanfaat karena cuma diketahui dan dibaca sama diri lo seorang. Sampe kapan?" Jeda sejenak. Zion hanya ingin membuat Adya bangkit dari keterpurukannya dan dari rasa ketidakpercayadiriannya. "Lo boleh takut, lo boleh banyak berpikir, tapi bukan berarti lo boleh se-insecure itu sampe cuma ngambil langkah aman seumur hidup. Bego!" sentaknya. "Takdir memang sudah diatur Tuhan, tapi tak ada salahnya kita berusaha dan berjuang." Ia mengakhiri ucapannya dengan kata-kata puitis. Oke, selalu mudah baginya menasihati orang lain, tapi tidak dengan menasehati dirinya sendiri. Bahkan untuk menenangkan dirinya sendiri, ia sampai butuh bantuan sebuah bangunan yang disebut Club Malam.
Kini, Adya sudah terisak. Kata demi kata yang diucapkan Zion benar-benar menamparnya. Sehelai tisue yang terulur di hadapannya, membuatnya mendongak. Ia menerima tisue pemberian Zion, lantas mengusap wajahnya yang basah. "Terus, gimana sama lo sendiri? Mau sampe kapan ngikutin kemauan Papa-lo dengan maksain diri?" Setelah tangisnya reda, Adya rasa Zion juga butuh semangat dan saran seperti apa yang laki-laki itu lakukan padanya.
Zion menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Kita liat aja nanti. Mau sampe kapan dia terus-terusan egois dengan maksa orang lain buat lakuin apa kemauannya tanpa bantahan." Ya, pikirannya sedang jernih saat ini. Tapi tidak tahu dengan nanti malam. "Dengan nyiksa anaknya sampai nggak punya teman karena sibuk dengan profesi yang dia suka." Siapa 'pun yang melihat Zion sekarang, pasti tahu, ada banyak kecewa di mata wajah tampan itu.
"Gue harap lo nggak lampiasin semunya pake minuman," ucap Adya. "Semuanya bakal tambah runyem kalo ada yang tau. Apalagi Papa, lo." Jeda sejenak. "Gue tau, lo masih bisa kendaliin semuanya dengan baik. Gue percaya sama, lo."
Zion mendengus dengan seulas senyum tipis. "Semoga."
-----
Mata Adya terfokus pada buku dan pensil di hadapannya, tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Niatnya ia hendak mengerjakan PR malam ini, namun hati dan pikirannya malah melayang sampai ke kejadian siang tadi.
Sampai malam ini, ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Zion beberapa jam lalu, terus memenuhi kepalanya. Zion benar. Adya sadar jika semua perkataan Zion benar. Tapi ia masih butuh banyak berpikir lagi untuk mengambil langkah itu.
Mata Adya mengerjap beberapa kali, pertanda jika pikiran gadis itu sudah kembali. Ditatapnya bukunya dengan sorot mata tak minat. Entah soal PR-nya yang memang susah atau dirinya yang memang kurang menyerap materi sejak kemarin sampai ia merasa tak mampu mengerjakan soal-soal tersebut.
Mengingat dirinya susah menyerap materi, lagi, Adya ingat ucapan Rengkuh kala itu. Tidak mau ambil pusing dan berakhir insomnia, Adya menutup bukunya dan berjalan menuju tempat tidurnya. Ia akan mengerjakan soal tersebut besok pagi.
Adya menghela nafasnya. Entah kenapa, hari ini terasa melelahkan.
Suara pesan masuk membuat Adya kembali membuka matanya dan tahu siapa yang mengirimnya pesan malam-malam begini.
From : Ajiii
Udah ngerjain PR Akuntansi? Kalo belum atau gimana, nggak usah maksa ngerjain. Gue udah dapet contekan dari sumber terpercaya, si Leoni sang Duta Sampo Lain yang tidak diragukan kecerdasannya. Jadi, jangan khawatir.
Lagi, Adya mendapatkan pesan susulan.
Udah, sekarang tidur aja yang tenang. Good sleep!
Adya tersenyum, lantas mengetikkan sesuatu.
Makasih, Ji.
●○●○●
Pendek, ya? Emang ketentuannya harus 1k kata hehe. Jadi sedikit.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Makasih! Babai!!!
-Siti Solehah
[06-11-2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Menulis bukan segalanya, kok, Dya." Adya tersenyum nanar menggumamkan kalimat singkat itu. Semua itu jelas sebuah kebohongan. Sebab baginya, menulis adalah segalanya, dunia literasi adalah jalan hidupnya, dan alat tulis adalah temannya bercerita. N...