14. Sesak

42 20 3
                                    

Tidak akan ada senang jika tidak ada sesak. Bagaimana 'pun, keduanya saling berdampingan.

●○●○●

Pagi ini, Adya mengawali harinya dengan senyuman. Setelah melihat pantulan dirinya yang sudah rapih dengan seragam sekolah lewat cermin lemari, ia keluar dari kamarnya dan menghampiri keluarga kecilnya yang tengah sarapan.

Adya memegang bahu Rengkuh yang sudah lebih dulu duduk di kursi makan, lantas ikut mendudukkan tubuhnya.

"Senyum-senyum, ada apa nih?" tanya Rengkuh begitu melihat wajah Adya.

"Cuaca hari ini indah," ucap Adya masih dengan senyumannya. Padahal, bukan itu jawaban yang sebenarnya.

Rengkuh mengangkat kedua alisnya. "Masa sih? Orang setiap hari juga gini. Biasa aja." Lantas melihat ke luar jendela.

Bama dan Riyana ikut tersenyum melihat kedua anaknya. "Udah, biarin Kakakmu itu senyum-senyum sendiri. Lagian masih ada kita, nggak sendirian," ucap Bama setengah membela setengah mengejek.

"Iya. Kalo Kakakmu bahagia, kita juga 'kan ikut bahagia," tambah Riyana. Bama mengangguk membenarkan.

Senyuman miris tercetak begitu saja di wajah Adya begitu mendengar sederet kalimat itu. Benar 'kah apa yang baru saja didengarnya? Jika iya, lalu yang selama ini dialaminya itu apa?

"Kalo sendirian, namanya itu ya, Pah?" Rengkuh tertawa. Sementara Adya, mencebikkan bibirnya.

"Udah-udah, ayo makan sarapannya," lerai Riyana. Ketiganya menurut dan segera memakan sandwich buatan wanita paruh baya itu.

-----

Berkali-kali, Adya melirik ke arah pintu kelasnya dan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sekarang sudah jam tujuh kurang lima menit, namun Aji masih belum menampakkan wujudnya. Membuatnya cemas dan bertanya-tanya.

Saat bel masuk pelajaran pertama berbunyi 'pun, tidak ada tanda-tanda Aji datang. Bahkan sampai Pak Syamsul masuk ke dalam kelas dan mulai mengabsen.

"Aji Reynanda Putra!" Pak Syamsul celingukan begitu menyebutkan nama pemuda itu.

"Alf ...."

"Belum datang, Pak! Sebentar lagi." Adya memotong ucapan seorang anak yang akan berbicara jika Aji alfa atau tanpa keterangan.

Fokus Pak Syamsul langsung beralih pada siswinya yang duduk di bangku kedua dari depan di barisan ketiga dari pintu. "Kamu tau dari mana jika dia akan datang?" tanyanya menyudutkan.

Adya gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya terdengar salam di pintu, ia dapat bernafas lega.

"Wa'alaikumussalam," jawab serempak murid kelas sebelas dan Pak Syamsul. "Dari mana saja kamu, Aji?" tanya Pak Syamsul begitu Aji menyalami lengannya.

"Eee ...." Aji menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Anu, Pak ... itu ... macet! Iya, macet!" jawabnya yang terdengar aneh.

Pak Syamsul menyipitkan matanya. "Kamu tidak bohong?"

"Ya nggak 'lah, Pak! Mana berani Aji bohong sama Bapak." Aji tertawa renyah.

Dari tempat duduknya, Adya memperhatikan Aji. Ia merasa, ada yang berbeda dari cowok itu kali ini. Apalagi dari raut wajahnya yang tampak ... lelah?

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang