15. Kenapa

44 19 2
                                    

Karena bagaimanapun, jika ragamu di sini namun jiwamu melayang entah ke mana, semuanya tidak berguna.

●○●○●

"Lo lagi nggak ada acara 'kan nanti pulang sekolah?"

Adya terdiam begitu mendapat pertanyaan tersebut dari cowok yang berdiri tepat di sampingnya. "Kenapa emangnya?" Ia memalingkan wajahnya dari lapangan bola yang berada di bawahnya dan menatap Aji.

"Gue mau ajak lo main ke rumah."

"Eee ...." Dari bola mata Adya yang bergerak-gerak, Aji tahu jika gadis itu bingung harus menjawab apa.

"Kenapa?" tanya Aji.

Adya bergumam cukup lama, sampai akhirnya berkata, "Gini, Ji ...." Ia kembali bergumam. "Gue nggak bisa." Ia menunduk sejenak pertanda jika dirinya merasa tidak enak hati. "Ada apa em ...." Pertanyaannya yang kedua kalinya terpotong.

"Kenapa nggak bisa?"

Adya mengerjapkan matanya berkali-kali. Mulutnya serasa kelu untuk menjawab lagi. Dua-duanya pilihan yang sulit. Mengiyakan ajakan Aji dan, "Gue ada janji bahas materi kepenulisan buat bekel gue ikutan event itu nanti pulang sekolah ...." Lagi-lagi, ucapan Adya dipotong oleh Aji.

"Sama Zion?"

Perlahan, Adya mengangguk lemah. Aji memalingkan wajahnya dan menghela nafas berat. Zion lagi, pikirnya.

"Emangnya ada apa, Ji? Lo ajak gue ke rumah, lo," tanya Adya untuk menetralkan kecanggungan yang melanda.

Tanpa menatap Adya, Aji menggeleng sekali. "Nggak ada apa-apa," jawabnya, lantas melenggang pergi meninggalkan Adya begitu saja.

Adya memejamkan matanya sejenak, ia tahu Aji marah padanya. Bukannya ia tidak mau mengindahkan ajakan Aji, tapi bertemu dengan Zion juga sangat ia butuhkan saat ini. Ia menghembuskan nafasnya berat. Nanti, ia akan mencoba berbicara baik-baik kepada Aji supaya ia mau mengerti.

Di sisi lain, Aji mengepalkan lengannya di depan cermin kamar mandi. Dadanya kembang kempis menahan emosi yang membeludak di dalam hatinya. Hatinya berteriak, "Zion lagi! Zion lagi!" Padahal kini dirinya sangat membutuhkan Adya di sisi. "Akh!"

-----

Setelah Adya bangkit dari duduknya dan melenggang pergi, Aji menolehkan kepalanya dan menatap sendu punggung kecil yang semakin menjauh dan perlahan menghilang di belokan pintu itu.

Sebenarnya, Adya sudah mencoba mengajaknya berbicara sejak bel masuk pelajaran terakhir berbunyi. Namun dirinya terus mendiamkannya dan memilih tidak mengutarakan lagi keinginannya. Ada secuil rasa kecewa dalam hatinya mengetahui Adya lebih memilih pergi bertemu Zion dibanding mengiyakan permintaannya.

Tidak, ia tidak ingin egois. Tetapi semua ini cukup menyakitkan untuk tidak dikecewai. Terlebih lagi, sekarang ia merasa jika Adya lebih dekat dengan Zion ketimbang dirinya. Adya juga lebih membutuhkan Zion dibanding dirinya. Dan ... Zion juga jauh lebih mampu menggantikan posisinya sebagai sahabat Adya karena hobinya sama dengan Adya. Menulis.

Jika ditanya takut, Aji cukup takut. Takut kehilangan Adya dari kata 'sahabat' dalam hidupnya. Apalagi di keadaan saat ini.

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang