23. Hancur

37 15 4
                                    

Karena kehancuran yang sebenarnya bisa saja dihadirkan dari sosok terdekat kita.

●○●○●

"Ass ...." Kerongkongan Adya mendadak terasa kering begitu bola matanya mendapati kedua orangtuanya. Tepatnya, kedua orangtuanya dengan raut wajah yang ia takuti selama hidupnya.

Tubuh Adya bergetar begitu Bama berjalan maju mendekat padanya. Apalagi saat laki-laki paruh baya itu mengangkat sebuah kertas di tangannya.

Adya tidak dapat berucap apa-apa saat itu. Yang dipegang oleh papanya sekarang adalah brosur pemberian Aji yang di permukaannya tertulis namanya yang terdaftar di sebuah lomba menulis. Di dalam hatinya, ia juga merutuki dirinya yang ceroboh. Bisa-bisanya ia menaruh brosur itu di laci meja belajarnya padahal ia tahu betul jika orangtuanya sering mengecek kamarnya.

"Apa ini?" tanya Bama dengan nada suaranya yang teramat dingin. "APA INI?!" tanyanya lagi dengan nada membentak karena Adya tidak kunjung menjawabnya.

Bibir Adya bergetar. Ia takut. Ia sangat takut. Papanya tengah bertranformasi menjadi orang yang akan membuatnya ketakutan setengah mati. "I ... it ... itu, itu ...." Adya tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ia menundukkan kepalanya dengan mata yang sudah berair.

Bama mencengkeram dagu Adya, lantas menghadapkan kepala gadis itu padanya. "APA INI?! JAWAB PAPA!" Dadanya kembang kempis menahan amarah dan sesak yang hadir di hatinya secara bersamaan.

Kepala Adya memang menghadap Bama, tapi tidak dengan matanya. Sesekali, ia melirik mamanya yang hanya diam sambil menatapnya dengan sorot mata ... kecewa? "Itu ... itu brosur, Pa," jawabnya tergagap.

"Brosur apa?" Bama menekankan ucapannya.

Adya menelan ludahnya susah payah. Dan kemudian, ia menjawab, "Brosur pendaftaran lomba menulis cerpen tahunan." Ia memejamkan matanya sejenak saat Bama melepaskan cengkeramannya.

Bama memalingkan wajahnya sambil meremas selembar kertas itu. Kemudian, ia kembali menatap Adya. "Sudah berapa kali Papa bilang?! jangan bercita-cita menjadi penulis!" Lagi, ia membentak. Bentakan yang terdengar sangat menyakitkan di telinga Adya.

Adya akhirnya memberanikan menatap papanya yang baru saja membentaknya dengan sorot mata takut bercampur kecewa. Dalam hatinya, ia selalu bertanya-tanya apa salahnya jika ia bercita-cita menjadi seorang penulis? Bukan 'kah itu profesi halal dan dapat menghasilkan? "Tapi, Pa ...."

"Adya Sasmi! Dengar ucapan Papa kamu!"

Mata Adya yang memang sudah berair, beralih menatap mamanya. Luka di hatinya bertambah menyadari mamanya yang selalu membelanya dalam banyak hal 'pun, ikut memarahinya untuk perkara ini. "Tapi, Ma ...."

Plak!

Lesatan telapak tangan Bama, tepat mengenai pipi Adya. Dari arah berlawanan, seorang remaja laki-laki berlari dan segera merangkul tubuh Adya yang sudah tidak berdaya di lantai. Laki-laki itu kemudian beralih menatap tajam sosok paruh baya di hadapannya. "Jangan tampar Kakak, Pa!"

"Diam, kamu! Jika tidak seperti ini, kakakmu itu tidak akan pernah mau mengerti!" bentak Bama dengan nafas yang terengah-engah.

"Biarkan kakakmu itu tau jika dirinya memang tidak pantas menjadi seorang penulis!" tambah Riyana.

Kalimat-kalimat itu, berhasil menghancurkan Adya sehancur-hancurnya. Di dalam rangkulan adik laki-lakinya, Adya menunduk. Membiarkan air matanya berjatuhan ke lantai. Baru saja ia kembali percaya pada dirinya dan juga semesta, sekarang, ia kembali disakitinya.

Adya ingin protes pada Sang Maha Kuasa. Tapi ia tahu, ini jalan hidupnya. Tapi kenapa jalan hidupnya seperti ini?! Ia rasanya ingin pergi saja dari semua drama kehidupan ini.

"Aaaaa! Aaaaa!"

"RIYANA!"

Adya mendongak begitu mendengar teriakan dari orangtuanya yang saling bersahutan. Dan detik berikutnya, ia langsung bangkit dan berlari ke arah dua manusia yang ia panggil mama dan papa saat Riyana tiba-tiba menjambak-jambak rambut panjangnya dengan tidak berperikemanusiaan.

Adya berlutut di bawah kaki Riyana. Sementara Rengkuh dan Bama mencoba menenangkan perempuan paruh baya itu agar tidak terus-menerus melukai tubuhnya.

"Ma ... maafin Adya. Adya janji nggak akan nulis lagi," ucap Adya berlomba dengan isak tangisnya yang semakin menjadi. "Ma ... jangan gitu." Ia meraih satu lengan Riyana yang hendak menjambak lagi rambutnya untuk yang entah ke berapa kalinya. "Maafin Adya. Mama ...." Diciuminya lengan Riyana. Ia takut. Ia sangat takut melihat mamanya seperti ini. "Ma ...."

-----

"Maafin Adya, Ma," gumam Adya di dalam tidurnya. Sejak kejadian tadi sore, sampai malam ini, ia terus menempel pada Riyana. Ia tidur di sofa sambil terus memeluk mamanya yang syukurnya sekarang sudah kembali seperti sedia kala.

Adya tidak tahu apa yang terjadi pada mamanya. Tapi yang jelas ia tahu, ia harus menuruti perintah dan kemauan mamanya mulai sekarang.

Rengkuh yang baru saja datang dari kamarnya, menatap dua perempuan yang sangat dicintainya dengan tatapan sendu dan mata merah. Ia menangis? iya. Baru kali ini, keluarganya bertengkar sehebat ini sampai mamanya seperti itu. Ia juga sama seperti Adya, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya.

"Biarin, jangan bangunin mereka."

Rengkuh menoleh ke belakang dan mendapati Bama. Ia sudah tidak lagi menaruh amarah pada laki-laki itu. Ia tahu, papanya melakukan semua itu ada alasannya dan untuk kebaikan bersama.

Rengkuh mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia bertanya, "Mama sebenernya kenapa, Pa?"

Bama terdiam sejenak. Tidak tahu harus menjawab apa. "Papa nggak bisa kasih tau sekarang. Maaf," ucapnya pelan dan sarat akan rasa bersalah.

Rengkuh tersenyum hambar. "Okay."

"Maafin Adya, Ma." Adya masih saja menggumamkan kalimat itu dalam tidurnya. Membuat Riyana akhirnya terbangun dari tidurnya.

Riyana menatap wajah Adya yang hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. Ia menyalahkan dirinya yang sampai kelepasan sehingga membuat putri kecilnya ketakutan. Ia tidak ingin menyakiti Adya. Tidak. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan putrinya menyelami dunia menyeramkan itu. Tidak!

"Maafin Adya, Ma."

Hati Riyana rasanya semakin teriris mendengar kalimat singkat yang keluar dari bibir Adya. Bahkan dalam mimpinya, Adya masih meminta maaf kepadanya. Dan akhirnya tanpa bisa dicegah, air matanya kembali luruh.

Bama mendudukkan tubuhnya di samping Riyana. Sementara Rengkuh di samping Adya. Bama memeluk keluarganya. Ia sangat menyayangi keluarganya, termasuk Adya. Namun beberapa keadaan terkadang mengharuskannya bersikap keras pada gadis kecilnya itu. Dilihatnya pipi Adya yang berwarna merah bekas tamparannya. Dan detik berikutnya, ia menangis. Iya, dia menangis.

Akhirnya, ketiganya menangis bersama.

●○●○●

Gimana chapter ini??? Hayoh!

Jangan lupa kasih vote! Babai!!!

-Siti Solehah
[23-11-2020]

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang