Tujuh Belas

330 59 18
                                    

Selamat membaca ❤️😁

***

"Bapak Presiden ingin, kebakaran itu diusut tuntas." Sebuah pernyataan dari salah satu juru bicara istana yang entah sudah berapa kali diputar di televisi hari ini.

"Cal, kamu yakin sama keputusan kamu? Kenapa nggak naikin ke presiden aja sih? Beliau dukung kok. Dan pastinya, kamu bakal dilindungi."

Rizal tersenyum asimetris. "Biar rakyat sendiri yang memutuskan. Presiden terlalu banyak tekanan sana-sini."

"Ya tapi hidupmu jadi di ujung duri sekarang! Pikiran Cattleya! Dia sudah kehilangan ibunya di hari pertama dia di dunia, sekarang, ayahnya mau pergi juga!"

"Wiryawan, aku mohon. Keluargaku semuanya di luar Jawa. Udah nggak keburu perjalanan ke sana," pinta Rizal menatap sahabatnya. "Lagi pula kamu sama Fahrani belum punya keturunan. Anggap Cattleya anak kalian."

"Berapa tahun? Bagaimana kalau aku dan Fahrani benar-benar menyayanginya dan enggan mengembalikan dia padamu."

"Sampai keadaan aman."

"Kalau keadaan nggak pernah aman?"

Rizal tertunduk. Dia menghela napas pasrah. "Biarlah aku jadi orang asing untuk putriku sendiri, asalkan hidupnya tidak terancam."

Lamunan akan apa yang terjadi di masa lalu terus berputar di pikiran Rizal sejak dia tahu bahwa putrinya berada begitu dekat. Seperti saat ini, Rizal sedang duduk termenung dengan kepala menengadah, bersandar di kepala kursi seolah bagian tubuhnya itu begitu berat.

Andai saja dulu dia menuruti ucapan Wiryawan untuk tidak bertindak nekat, maka sekarang, dia bisa memeluk Cattleya, menemani putrinya itu tumbuh menjadi gadis cantik dengan fisik delapan puluh persen menuruni ibunya. Meskipun kata Tama, Cattleya sifatnya seperti dirinya yang berprinsip, kuat, dan berani.

Rizal Permadi-- namanya memang tidak terkenal di kalangan masyarakat. Dia bukan pejabat, hanya pegawai negeri biasa yang bekerja di Badan Anti Korupsi Negara (BAKN)* bagian operasi lapangan selama lima tahun hingga karirnya hancur setelah insiden dua puluh satu tahun lalu.

Kecakapan Rizal, keberanian, dan keteguhannya memegang prinsip, membuatnya begitu dipercaya oleh sang Atasan. Hingga dia diberi tahu sebuah kemungkinan rencana gila yang akan dilakukan oleh anggota sebuah geng berikut dengan bukti-buktinya. Rencana pembakaran gedung BAKN untuk menghilangkan bukti keterlibatan ketua geng mereka atas aliran dana sebuah proyek tourism place yang melibatkan seorang anggota legislatif.

Informasi soal pembakaran itu justru menjadi bumerang bagi Rizal. Apalagi saat rencana pembakaran gedung itu benar-benar dijalankan dan memakan beberapa korban jiwa bahkan sang Atasan juga turut tewas.

Setelah dua hari berkutat dengan bukti yang dia ketahui, Rizal dihadapkan dengan dua pilihan. Diam dan berpura-pura tidak tahu lalu hidup normal, atau buka mulut dan mengatakan kejujuran dengan konsekuensi menjadi buronan anggota geng kriminal. Pada akhirnya, Rizal tetaplah lelaki dengan prinsip yang begitu dijunjung tinggi. Dia memilih jalan berbahaya hingga harus meninggalkan putrinya kemudian hidup dalam pelarian.

Rizal menghela napas, mencoba mengenyahkan tragedi kelam itu dari pikirannya. Dia mengaktifkan ponselnya. Sebuah foto langsung terlihat di layar lima setengah inci itu. Fotonya bersama sang putri yang kala itu masih berumur lima bulan.

"Maafkan Papa, Nak. Maaf. Papa tahu Papa nggak pantas disebut orang tua," lirihnya dengan mata berkaca.

Kesedihan Rizal dan penyesalannya memang semakin memuncak saat Alex, salah satu agen NS Security Services yang dia minta secara khusus membantunya, menemukan fakta bahwa kehidupan Wiryawan tidak bisa dikatakan makmur karena harus mengeluarkan biaya besar untuk pengobatan almarhumah istrinya. Hingga bisa dipastikan, Cattleya hidup dengan banyak kesulitan.

Deal with Mr. Celebrity (Tersedia dalam Bentuk Buku dan PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang