"Pencapaian yang besar adalah saat lo bisa kembali melangkah dengan penuh senyuman di jalan yang dulu lo anggap penuh duri."
Ucapan laki-laki di sampingku membuatku menatap netranya yang hitam pekat. Bibirku menyunggingkan sebuah senyuman. Aku bertekad dalam hatiku. 'Ya, aku bisa kembali melangkah di jalan yang penuh luka di masa lalu.'
"So? Tunggu apalagi?" tanyanya dengan kedua alis yang terangkat.
"Welcome back Indonesia!!" teriakku sambil merentangkan kedua tanganku.
Oke, kita belum kenalan. Namaku Syafara, dan laki-laki yang sekarang berada di sampingku adalah Reza. Dia kekasihku yang sebentar lagi akan berubah menjadi tunanganku.
Ini adalah pencapaian terbesar dalam hidupku, kembali menginjakkan kaki di tanah air yang penuh kepahitan.
Bandara ini menjadi saksi, di mana 5 tahun yang lalu aku sempat menangis sebelum akhirnya lepas landas menuju Singapura. Negara pelarianku.
"Lo udah bukan lagi remaja labil yang lima tahun lalu lari ke Singapura buat lupain semua rasa sakit lo. Sekarang lo udah gede, lo harus siap sama semua kenangan masa lalu lo yang bertebaran di Indo." Reza memegangi kedua pundakku dan menatapku dengan tatapan tajamnya. "Dan jangan lupakan satu hal lagi, ada gue yang akan selalu siap 24/7 buat lo." Dia mengacak rambutku. Kebiasaan.
Kita berdua melangkahkan kaki keluar dari bandara menuju mobil hitam yang sudah menanti di sana. Mobil siapa lagi kalau bukan mobil sultan di sampingku ini?
Reza adalah anak tunggal, hidupnya serba berkecukupan. Apapun yang dia mau, tringgg ... semuanya ada di depan mata. Tapi bukan itu yang membuatku jatuh cinta. Kegigihan dan keseriusannya padaku lah yang akhirnya membuatku luluh dan menjatuhkan hatiku padanya.
"Mas, kopernya mau di semobilin atau mau di bawa di mobil belakang aja?" tanya orang suruhan Reza yang membuat kita berdua membalikkan badan melihat ke arah orang itu.
Reza merangkul bahuku dengan possessive. "Di mobil belakang aja terus langsung bawa ke rumah. Saya sama Ara mau Murojaah jalan Jakarta dulu," jawab Reza membuat orang suruhannya tersenyum sambil mengangguk.
"Murojaah, kamu kira jalan di Jakarta itu hafalan Al-Qur'an," ucapku sambil mencubit perutnya.
"Iya Murojaah, karena yang gue ingat cuma lo."
"Apasih, Zaaa," kesalku sambil menjauhkan tangan Reza dari pundakku. Wajahku memanas, aku langsung berbalik dan berjalan mendahului Reza.
Ribuan bahkan ratusan kali Reza menggombaliku, tapi tetal saja wajahku selalu panas dan jantungku tak berdetak dengan normal. Reza benar-benar membuatku gila.
"Hey, Ara!" panggil Reza.
Dia menyusulku dengan langkah panjangnya, lalu membalikkan badanku agar kembali berhadapan dengannya. "Muka lo kenapa? Kok merah? Jangan-jangan lo alergi terbang lagi," hebohnya sambil membolak-balik wajahku.
Aku melepaskan tangan Reza dari wajahku. "Aku alergi deket-deket kamu," ucapku berusaha sewot.
Reza tertawa terbahak-bahak, bahkan dia memegangi perutnya saking puas tertawa.
"Kenapa?" tanyaku tak santai.
"Kalo lo alergi deket gue, gak mungkin lo bertahan sama gue selama 3 tahun ini. Mana pas ditinggalin balik ke Indo, lo pake acara demam sampe masuk rumah sakit lagi."
Skak. Ah, kenapa Reza mengungkit hal itu lagi?
"Apa sih, Zaa. Aku sakit itu bukan karena ditinggalin kamu ke Indo--"
"Tapi pas demam sampe ngingo 'kapan Eza pulang?', 'kapan Eza pulang?', hayolohh. Videonya masih gue simpen kali lo lupa," ejek Reza memotong ucapannku.
"Ih, Zaaa. Udah jangan ngungkit itu lagi," pintaku dengan kaki yang sudah aku hentak-hentakkan.
Reza berhenti tertawa, lalu dia kembali merangkul bahku, membuat aku berhenti menghentak-hentakkan kakiku. "Makannya jangan so' so' an alergi deket gue, bilang lo blushing."
"Apaan sih, Zaa?"
"Apanya?" tanya Reza dengan kedua alis terangkat.
"Blushing apaan? Siapa yang blushing?"
"Aku." Reza menunjuk dirinya sendiri. Aneh.
"Kamu?" tanyaku dengan kepala sediki dimiringkan.
"Cinta kamu," lanjutnya dengan jari telunjuk yang berpindah pada hidungku.
Dengan sekuat tenaga aku menahan senyuman agar tak terbit dari bibirku. Ah, tapi teyap saja wajahku terasa panas.
"Ciee blushing lagi." Reza kembali mengejekku dia tertawa puas melihat aku yang semakin salah tingkah.
Ahh, demi apapun. Reza membuatku malu saat ini. Banyak orang yang menoleh ke arah kami dan sepertinya mereka ikut menertawakan aku.
"Bukan blushing, aku cuma laper," ucapku membela diri. Bahkan aku mengusap-ngusap perut rataku dan berakting lapar agar Reza percaya. Jangan lupakan pipiku yang sudah kukembungkan.
"Iya-iya bercanda, jangan ngambek, nanti perut ratanya gue isi deh sampe penuh," ucap Reza setelah tawanya mereda. "Sama anak gue kalo perlu," lanjutnya membuatku refleks menonjok muka mengesalkannya.
"Heh, mulutnya," kesalku.
"Aww, kalo mau nonjok ke bahu aja, muka mah aset berharga gue." Reza mengusap-ngusap wajahnya sendiri.
"Ngomong lagi aku tonjok lagi muka kamu, biar aset kamu rusak sekalian," gregetku lalu berjalan lebih dulu ke mobil hitam milik Reza.
Itulah Reza. Selalu bisa membuatku kesal sekaligus membuatku semakin jatuh hati padanya. Dia seperti malaikat yang merangkap tugas menjadi setan.
Tapi tanpa hadirnya, mungkin aku takan kembali menginjakkan kakiku di Indonesia. Apalagi ketika aku ingat kejadian menyakitkan bagiku yang terjadi di 5 tahun yang lalu.
{>¢<}
Jika kalian enjoy membaca prolog ini :
>Jangan lupa Vote
>Jangan lupa comment
>Jangan lupa shareMakasih udah baca. Lopyu 3000 kolbak
Syafara
Reza
KAMU SEDANG MEMBACA
Syafara >Completed<
Teen FictionCover by : Syafara NQ Takdir Tuhan adalah yang terbaik, meskipun terkadang takdir itu membuat kita sakit. Bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan ujian, bukan hidup juga namanya jika tidak merasakan kebahagiaan. 2020-2021 <3