Happy reading❤
Jihan berjalan menelusuri tempat - tempat yang pernah ia kunjungi bersama Marvin. Di kepalanya terputar momen - momen bahagianya bersama Marvin. Semua memori itu tersimpan dengan sangat jelas di ingatannya dan selalu berputar bagaikan film dokumenter.
Sudah 1 bulan yang lalu Marvin pergi meninggalkannya.
Liburan kenaikan kelas sudah dimulai sejak seminggu yang lalu dan Jihan mendapatkan peringkat 3 di kelasnya. Jihan ingin sekali menunjukan kepada Marvin bahwa ia mendapatkan juara kelas, namun semua itu sirna karena Marvin sudah tidak ada lagi untuk menjadi alasan ia bertahan.
Untuk masalah Dion? Jangan tanyakan, anak itu semakin menghindari dari Jihan. Winda juga selalu bersama Dion semenjak kejadian itu dan ikut menjauhi Jihan walaupun jauh di lubuk hatinya Winda tidak mau menghindar dari Jihan.
Jihan pergi tanpa sepengetahuan kakaknya. Ia tidak mempermasalahkan jika nanti ia akan dimarahi karena pergi tanpa izin. Jihan hanya rindu Marvin, itu saja.
"Katanya cuma pergi sebentar," gumam Jihan dengan suara lirih.
"Kak Marvin pembohong!"
Jihan berjalan melalui taman belakang sekolahnya sampai dengan toko buah yang menjadi tempat terakhir yang ia kunjungi bersama Marvin.
Jalanan begitu sepi karena semua orang pergi liburan bersama keluarganya. Semua orang bahagia di hari liburnya. Sedangkan Jihan, ia malah merasakan kehilangan yang sungguh menyakitkan.
2 tahun yang sangat berharga ia jalani bersama Marvin. Semua masalah hidup yang berat ia pikul sendiri menjadi ringan karena Marvin. Karena Marvin, Jihan merasa lebih bersemangat untuk menjalani hidupnya.
Sekarang apa? Ia kehilangan penyemangat dan penopangnya untuk ia bertahan. Apakah Jihan harus menyerah? Atau tetap bertahan? Tapi untuk siapa ia bertahan?
Jihan rindu. Ia rindu dengan pelukan hangat yang Marvin berikan, ia rindu minuman coklat panas yang Marvin berikan ketika sedang kedinginan, ia rindu suara ketawa Marvin yang menular, dan ia rindu semua yang berkaitan dengan Marvin.
Ingin sekali Jihan mengulang semua momen 2 tahun yang ia jalani bersama Marvin. Jika tidak bisa, Jihan ingin tidur dan bangun dalam keadaan tidak mengingat apa-apa.
Flashback on
"Jihan ayo sini, Kak Marvin ajarin naik sepeda Kakak."
"Ih Kak Marvin, masa Jihan naik sepeda nya Kakak? Jihan kan pendek, sepeda Kak Marvin kan tinggi, nanti kalau Jihan jatuh gimana?" Dengus Jihan kesal.
Hari itu Jihan dan Marvin sedang bersepeda berdua di taman kota.
"Ayo gapapa, nanti Kakak pegangin." Marvin meyakinkan.
"Gak mau, nanti jatuh."
"Sekali aja coba, gak berat kok ini sepedanya."
'Gak berat' oke.
"Yaudah deh. Tapi pegangin jangan sampe lepas, awas aja kalo sampe dilepasin, Jihan gak mau ngomong sama Kak Marvin lagi"
"Iya iya cerewet."
Perlahan Jihan menaiki sepeda Marvin yang tinggi dan katanya tidak berat itu.
"Hayoloh," goda Marvin.
"Ih jangan nakutin! Jihan pukul nih?!" Seru Jihan kesal.
"Hehe iya maaf. Ayo gowes, Kak Marvin pegangin nih."
Jihan mulai menggowes sepedanya dengan perlahan. Ternyata tidak setinggi yang ia bayangkan. Jihan bisa menggowes pedalnya sampai bawah.
"Tuh kan apa kata Kakak juga, ngeyel sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] "𝗛𝗜𝗥𝗔𝗘𝗧𝗛"
Teen FictionJihan rindu rumah lama nya. Jihan hanya berharap suatu hari nanti ia bisa merasakan rumah yang sebenarnya. Jihan hanya ingin mendengar ungkapan sayang dari orang yang paling ia sayangi. Harapannya begitu kecil tapi rasanya susah sekali untuk mewujud...