Happy reading❤
Jihan berangkat menuju sekolah. Hari ini adalah hari dimana semua sekolah masuk lagi seperti biasa setelah liburan semester.
Jihan memasuki pekarangan sekolah dengan tenang.
Tidak ada yang berubah dari sekolah itu. Mulai dari tanaman sampai dengan suasana dari sekolah itu. Hanya saja yang berbeda adalah suasana hatinya. Dengan siapa ia akan memakan bekal di kantin? Dengan siapa ia akan bermain ketika jam istirahat? Jihan sudah tak memiliki teman.
Sepertinya hari ini ia berangkat lebih pagi karena saat ia memasuki kelasnya belum ada siapa-siapa disana.
Jihan mendekati kursi dimana tempat ia biasanya duduk. Udara pagi dan cahaya sinar matahari masuk ke ruangan itu dari celah-celah yang ada.
Jihan menelungkupkan wajahnya dengan tangan di meja.
"Winda, Dion, kalian kemana? Apa persahabatan kita bakal putus gini aja? Kalo aku lagi down siapa yang bakal aku jadiin tempat bersandar? Kak Marvin udah gak ada, Kak Danu juga gak tinggal disini lagi." Jihan bergumam pada diri sendiri.
"Setiap malem aku berdoa sama Tuhan agar dia hilangin ingatan aku, tapi kenapa setiap bangun tidur aku masih inget semuanya? Aku juga berharap kalo semua ini cuma mimpi, tapi kenyataannya semua ini memang bener. Rasanya sesak banget."
Tidak. Jihan tidak menangis. Ia hanya mengeluarkan keluh kesahnya pada diri sendiri yang justru akan membuatnya dadanya semakin sesak.
"Andai waktu bisa diulang..."
Terdengar suara pintu terbuka. Jihan menoleh sekilas, itu Dion.
Ingin sekali Jihan menyapanya meski hanya sekedar mengucapkan selamat pagi.
Jihan terus menatap Dion. Tatapan mereka bertemu namun Dion langsung membuang wajahnya.
Yah... lagi-lagi Jihan kehilangan harapannya.
Dion duduk di kursi belakang. Diam-diam ia memperhatikan Jihan yang kembali menyembunyikan wajahnya di atas meja dengan kedua tangannya.
Dion berpikir, apakah yang ia lakukan ini benar atau salah? Menjauh dan menghindar dari sahabatnya yang sudah bersamanya selama 4 tahun.
Dion tahu bahwa Ayahnya memang tidak sengaja ditembak oleh Ayahnya Jihan, oleh sebab itu pengadilan menyatakan Ayah Jihan tidak bersalah. Tetapi tetap saja jatuhnya Ayahnya Jihan lah yang membunuh Ayahnya Raja.
🍂🍂🍂
Bel istirahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Jihan mengeluarkan bekalnya yang ia bawa dari rumah tadi.
Jihan duduk di kursi biasa ia duduk bersama Winda dan Dion dulu. Bahkan disaat istirahat pun Jihan tak melihat Winda maupun Dion. Kemana mereka?
Melihat teman-temannya yang lain, Jihan merasa iri. Semua temannya makan dengan teman yang lain, sedangkan ia hanya duduk sendirian di kursi makannya.
Jihan hanya bisa berdoa dan berharap bahwa suatu hari nanti persahabatannya bisa kembali seperti semula.
Braakk!!
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] "𝗛𝗜𝗥𝗔𝗘𝗧𝗛"
Teen FictionJihan rindu rumah lama nya. Jihan hanya berharap suatu hari nanti ia bisa merasakan rumah yang sebenarnya. Jihan hanya ingin mendengar ungkapan sayang dari orang yang paling ia sayangi. Harapannya begitu kecil tapi rasanya susah sekali untuk mewujud...