XXXII. Thank You

2.6K 275 99
                                    

Suhu malam di London berkisar sepuluh derajat celcius. Rasa dingin udara menebus permukaan kulitnya yang hanya berbalut kemeja sutra tipis, tetapi hal itu dihiraukannya, dan tetap berdiri dengan kedua telapak kakinya yang mulai membeku.

"Kau ...tidak akan berhenti mengelak."

Tay seharusnya lebih tahu.

Tatapan terluka New terus-menerus terngiang di dalam memori, membuat Tay merasa sedikit bersalah, namun tidak mampu melakukan rekonsiliasi.

Kilas balik ke perbincangan sebelumnya, Dia tidak merasa melakukan sebuah kesalahan. Setiap manusia memiliki hak untuk menyimpan hal untuk diri mereka sendiri. Pemuda dominan itu tahu persis, maksud kekasihnya adalah baik. Akan tetapi, pemaksaan tidak pernah menjadi suatu cara yang mempan untuknya. Ayah dan Ibu sudah berusaha keras untuk mengorek-ngorek inti dirinya sejak lama, namun tiada hasil yang didapatkan.

Jemarinya sudah mulai mati rasa. Angin tidak berhenti menerpa Tay, membuat seluruh otot wajahnya menjadi kaku. Sejujurnya, Tay masih ingin tinggal. Namun, lain hati lain pikiran. Sang nurani telah menyuruhnya untuk menghampiri pemuda yang sedang tertidur pulas itu. 

"Hin." 

Tay tahu dua terlihat seperti orang bodoh yang bermonolog sendiri, namun tetap dilanjutkan.

Tangannya menyelusuri setiap jengkal wajah New yang terpahat dengan indah. Jemari Tay menyampingkan poni New yang menutupi wajah, menyentuhnya dengan lembut. Wajah yang selalu menemani hari-harinya, tersenyum lembut tanpa mengenal lelah.

Wajah yang memberikan sepercik harapan yang ragu untuk diambil, ia biarkan hingga meredup.

"Maafkan aku," lirihnya. "Aku ...tidak tahu kamu akan merasa seperti itu—lagi."

Tay menghembuskan napasnya lagi, sudah tidak terhitung banyaknya. Konon, menghembuskan napas dengan sengaja diindikasikan dengan pemendekan umur. Tay tidak terlalu menghayati kepercayaan lama seperti itu, dan kalaupun itu benar, berarti rentang hidupnya panjang sekali. Haruskah Tay beryukur ? 

Alis New mulai berkerut, menandakan tidur yang terganggu. Tay berhenti menyentuh wajah pemuda manis tersebut, dan mencium keningnya cukup lama.

"Kamu bertanya mengenai perasaanku hari ini," Tay bermonolog, "Aku tidak bermaksud menghiraukanmu. Hanya saja..." 

Tay mengatupkan mulut. Ekspresinya berubah sendu.

"Aku tidak tahu," suaranya bergetar. "Semuanya terlalu buram, hingga aku sendiri tidak tahu."

.

Tidak ada rengkuhan hangat yang mendekapnya saat bangun. 

Kasur yang biasanya memancarkan kehangatan yang kenyamanan yang tak tertahankan, terasa begitu dingin dan sepi. Tay tidak berada di atas kasur. New langsung mencari keberadaan penghuni lain, namun tidak menemukannya juga. Di atas meja makan, dua tangkup sandwich Monte Cristo—berisi campuran telur setengah matang, ham, dan keju dari Prancis—beserta selembar post-it kecil berwarna merah muda. 

Dihangatkan dulu nanti. Microwave ada di sebelah kanan tempat cuci piring, tulisnya.

New dapat membayangkan Tay menulis ini dengan terburu-buru. Tulisannya jauh lebih parah dari ceker ayam. New tertawa geli.

Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering.

"Halo ?"

"New. Sudah bangun ?" 

"Masih tidur." sarkas New. Dia masih sedikit sebal.

Itu jelas tidak perlu ditanyakan, batin New. Lagipula, tidak ada orang tidur yang mengangkat telepon. 

coincidental | taynewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang