VI

664 84 3
                                    


"Aku akan mengantarmu" ujarku dan menarik paksa wanita ini. Aku sempat melihat eskpresi terkejutnya ketika aku menariknya. Siapa peduli dengan etika dan sopan santun. Kali ini aku tidak akan melepaskannya begitu saja, mungkin dia akan melaporkanku ke polisi atau menuntut atas tindakan tidak sopan ini. Tapi aku hanya ingin memastikannya baik-baik saja. Sakit dikepalaku semakin memuncak sekarang, bahkan aku mulai meras mual dan nafasku sudah tidak beratura. Aku sedikit mendorongnya untuk masuk ke mobil dan setelahnya aku sedikit berlari untuk kembali ke kursi kemudiku. Sial!, pandanganku mulai berputar dan kadang berkunang

Deg

Apa aku sudah dibatasnya ?

Aku berhenti tepat didepan pintu kemudi karena dadaku tiba-tiba terasa nyeri dan aku sedikit sulit bernafas, pandanganku kembali berkunang bahkan beberapa kali menggelap. Tolong diriku lebih kuatlah sedikit. Ingat, di kehidupan sebelumnya kau pernah melawan hal-hal gila yang lebih dari sekedar sakit kepala, bukan. Tahanlah sebentar, sangat tidak lucu jika aku pingsan sekarang. Wanita itu sudah berbaik hari tidak memukulku dengan tas besarnya, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini. Atau kau akan kehilangannya lagi.

Kutarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan, dengan pandangan yang masih berkunang dan tangan yang terus bergetar, kubuka pintu kemudi lalu masuk. Bisa kuliah wanita ini memandangku khawatir, wajahnya tampak berkerut dengan bekas-bekas air disana.

"Maaf, bisa ambilkan botol minum disekitar situ" pintaku dengan suara yang agak serak. Aku harap dia tidak semakin khawatir yang malah memintaku menggantikannya menjadi penumpang, "Ada selimut di laci dashboard kau bisa pakai itu" tambahku seraya menerima sebotol air mineral. Setelah beberapa menit, aku mulai merasa cukup baik setidaknya pandanganku mulai jelas dan detak jantungku lumayan stabil.

"Kau baik-baik saja, Tomioka-san ?" suaranya terdengar gugup dan sedikit hati-hati. Aku menoleh dan melihatnya memandangku dengan kening yang berkerut. "Hn, maaf membuatmu tidak nyama. Sekarang kau bisa menunjukan arah rumahmu" ujarku.

-

-

-

Tidak ada yang kami bicarakan selai arahan untuk berbelok. Dan selebihnya hanya suara hujan yang jatuh dan sedikit kebisingan jalanan seperti pada umumnya. Dia juga tampak tak ingin diajak bicara, sepanjang perjalanan dirinya terus memandang keluar jendela sambil sesekali mengeratkan selimut yang sudah menutupi tubub bagian atasnya. Sedangkan aku, hanya ketidakjelasan dan rasa sakit yang menghantui diriku. Perasaanku sudah bercampur jadi aku tidak tahu perasaan ini bernama apa, namun selebihnya aku hanya merasakan sakit kepala dan sedikit mual. Aku berharap aku tidak pingsan sekarang.

"Tolong berhenti didepan sana" pintanya dengan suara pelan. Aku mengentikan mobilku tepat didepan pintu gerbang berbahan kayu dengan arsitektur khas Jepang. "Terima kasih telah mengatarku dan maaf karena mengalihakn jadwal chek up anda, Tomioka-san" ucapnya dengan seulas senyum sebelum keluar dar mobil. Aku belum sempat menjawab dan dia sudah keluar dengan selimut yang masih membungkus setengah tubuhnya. Setelah ia membungkung hormat, sosoknya segera memasuki gerbang itu.

"Huuh..." aku sedikit merilekskan tubuhku, membiarkan pikiranku kosong sejenak berharap sakit kepalaku sedikit mereda. Aku tidak yakin bisa menyetir sampai ke rumah psikiaterku. Ah benar, aku harus menemui psikiaterku hari ini. Kuangkat kepalaku dan aku bisa melihat rumah-rumah tradisional jepang dengan pagarnya khas.

"Dimana aku?" gumamku masih melihat keluar jendela mencari-cari petunjuk jalan atau setidaknya nama perumahan ini. "Ah.., benar GPS nya" aku baru menyadari bahwa gpsku sudah mati. Mungkin saat berhenti dilampu merah tadi dan aku lupa menyalakannya lagi. Kutekan tombol on-nya dan setelah beberapa saat layarnya mulai menunjukan navigasi ke arah rumah psikaterku,

You are not my Destiny ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang