VIII

552 69 2
                                    


"Ngomong-ngomong, ada yang ingin aku tanyakan sejak lama" Dia meletakan gelasnya dan mengeser piringnya yang sudah setengah kosong. Tatapannya menjadi sedikit tajam dan wajahnya terlihat serius namun masih menampilkan senyuman andalannya. Aku jadi sedikit waspada dengan ucapannya tadi, apa dia akan menanyakan soal perilaku anehku selama di rawat inap, atau dia akan bertanya soal aku yang menarik paksanya sebulan lalu, atau malah karena aku tidak datang di jadwal chek up-ku sebelumnya.

"Hari itu saat kau pertama kali melihatku, kenapa kau menangis ?"

Jantung seperti berhenti sesaat mendengar itu, entah bagaimana aku merasa sedikit sedih dan dadaku terasa sakit tiba-tiba. Kuletakan sumpit yang masih dalam gengamanku, tanganku sedikit bergetar dan pikiranku menjadi sedikit kacau hanya karena satu pertanyaan itu. Aku sudah menduga dia akan menanyakannya, tapi aku tidak pernah menduga tubuh dan hatiku akan bereaksi sekacau ini.

Aku tertunduk sambil berusaha bernafas secara perlahan, dadaku masih terasa nyeri dan lonjakan emosional seperti diwaktu itu muncul kembali. Kendalikan dirimu, dia hanya bertanya. Jawablah dengan jujur atau katakan tidak tahu. Kuatlah, ini hanya sebuah pertanyaan!.

"Tomioka-san, kau baik-baik saja ?. Apa itu menyinggungmu ? Maaf-"

"Aku baik-baik saja." Kuangkat kepalaku dan bisa kulihat dia tampak sudah bersiap bangkit dari kursinya, wajahnya tampak sedikit khawatir namun perlahan menjadi tenang. "Aku hanya sedikit terkejut kau masih mengingatnya" lanjutku seraya mengambil segelas air dan meminumnya.

"Maaf..., kau bisa tidak menjawabnya"

"Aku tidak tahu. Saat itu aku hanya merasa seperti bertemu kembali dengan orang yang lama tak kujumpai"

Aku tidak mau tahu bagaimana ekspresinya mendengar jawabanku, aku bahkan membuang wajah saat menjawabnya. Kupikir itu jawab paling tepat, aku sudah pernah memikirkan ini berkali-kali dan hanya itu jawaban yang paling tepat sejauh ini.

"Ara..., pasti kau merindukan orang itu. Dan apa aku semirip itu dengannya ?"

Respon itu membuatku tersentak dan beralih melihatnya yang tengah melihat kearahku dengan senyuman menyebalkan itu. Dia benar soal orang itu mirip dengannya tapi soal merindukan, darimana dugaan itu datang. Aku bahkan yang merasakannya tidak bisa memastikan perasaan jenis apa itu. "Mungkin.." lirihku meresponnya.

"Sebagai gantinya kau bisa bertanya apapun padaku" serunya seraya meletakan sebuah apel merah dihadapanku.

"Sebulan lalu, kenapa kau mengambil cuti dadakan dijadwal chek up-ku ?"

Aku sudah memutuskan akan menanyakan itu, tapi tentu saja dengan pertanyaan yang tidak menyinggung privasinya secara langsung. Responya tampak biasa saja, dia menghela nafas pelan kemudian tersenyum,

"Maaf soal itu.., hari itu untuk pertama kalinya aku gagal menjalankan operasi. Dan pasiennya menjadi tidak terselamatkan.Tentu saja aku terguncang. Itu operasi darurat pertamaku, sebenarnya aku tidak siap tapi saat itu hanya aku dokter bedah yang tersisa. Meskipun orang-orang mengatakan itu bukan salahku, tapi aku tetap tertekan"

Wajahnya terlihat sedih seiring ia menceritakannya, bahkan kepalanya tertunduk sedikit yang mungkin dimaksudkan untuk menyembunyikan perubahan raut wajahnya. "Maaf, aku seharusnya tidak bertanya"

"Tidak masalah, aku juga sudah menanyakan sesuatu yang cukup sensitif padamu ,Tomioka-san. Dan karena alasan itu juga aku jadi hujan-hujan. hahahaha...terlihat drama sekali ya...." dia sedikit bergumam diakhir kalimatnya sebelum mengigit apel yang sejak tadi dimainkannya.

-

-

-

Kami kembali keruanganya dengan hasil rontgen yang baru ia dapat. Setelah membaca beberapa hasil lembar kertas yang mungkin hasil dari cek darah dan tulangku, dia terseyum dan menghela nafas lega. Kuharap ini adalah kabar baik,

You are not my Destiny ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang