Langit yang biru, mentari yang hangat, angin yang tenang dan aroma bunga yang semerbak. Harusnya itu sudah cukup menjadi definisi hari yang cerah nan sempurna, tapi rasanya tidak untukku.
Aku termenung selama beberapa detik menunggu lampu merahnya berubah menjadi hijau. Sepanjang jalan menuju rumah sakit tempat Kocho bertugas, pikiranku sebagian besar dipenuhi oleh rasa khawatir dan gelisah. Entah apa nanti yang akan terjadi, aku tidak memprediksinya.
Setelah sekian lama aku selalu menolak musim ini, dan sekarang aku datang padanya dengan tujuan yang sedikit memalukan.
Tentu saja, aku masih dihantui rasa khawatir soal pengembalian ingatan yang menyakitkan itu. Bukan hanya perasaanku tapi juga dengan fisikku. Oh... sakit kepala, sesak nafas dan rasa mual yang kualami selama pengembalian ingatan sungguh tidak main-main menyakitkanya.
Jangan buat aku mengatakan berapa kali aku tidak bisa menahan rasa sakitnya sampai tak sadarkan diri, itu benar-benar banyak. Sejauh cerita ini mungkin sekitar dua kali kurasa dan yah..., aku tidak mau pingsan mendadak didepan Kocho. Kau tahu.., itu hanya akan membuat lingkaran hutang piutang tidak berhenti.
Tak berapa lama dari kejauhan aku bisa melihat bangunan tinggi menjulang yang merupakan rumah sakit milik keluarga Kocho dan sekitar 200 meter dari rumah sakit ada halte bis yang cukup sepi untuk jam segini diakhir pekan.
Aku bisa melihat Kocho yang berdiri memainkan ponselnya sambil bersandar malas pada salah satu tiang penyanggah. Ada bangku dibelakangnya tapi entah mengapa dia tidak duduk disana dan lebih memilih berdiri berdampingan dengan tas bawaanya.
Aku menepikan mobilku tepat didepannya namun mungkin karena dia terlalu asik dengan ponselnya, dia baru menyadari kehadiranku setelah aku menekan klakson sekali sebagai pengumuman.
Dia sempat terlihat tersentak kaget dan wajahnya menjadi kesal dan wajah kesalnya itu tak berapa lama luntur saat aku membuka jendela dan mempersilakanya masuk.
"Maaf aku agak melamun tadi" katanya setelah menutup pintu penumpang sambil memakai sabuk pengamannya.
Aku hanya mengangguk sebagai respon, sekilas aku melihat dia membawa tas piknik berukuran sedang dengan motif kupu-kupu dibeberapa sudutnya. Ok.., perkiraanku sepertinya tepat dan untunglah...
"Eh..? Tomioka-san membawa matras piknik ?" dia terdengar antara terkejut dan juga antusias.
"Seperti yang kau lihat..." sahutku rendah dan kemudian dia tertawa ringan entah kenapa.
Sebenarnya aku butuh beberapa kali berpikir hanya untuk mengabil keputusan membawa matras piknik itu atau tidak. Dan yah.., akhirnya aku membawa itu. Mungkin karena beberapa perkiraan umum soal bagaimana kaum wanita suka sekali dengan Hanami dan menikmatinya selama berjam-jam. Terima kasih kakak perempuanku, setidaknya aku berbekal sedikit darimu.
-
-
-
Sekitar lima belas menitan perjalanan kami sampai di tempat tujuan. Ini taman yang luas, ah tidak maksudku taman yang sangat luas. Sangking luasnya aku bahkan tidak bisa membayangkan jika pergi seorang diri kesini, mungkin aku akan tersesaat. Meskipun begitu.., entah mengapa
"Astaga..., harusnya sejak awal kita tidak kesini" gumamku melirik tak suka pada wanita yang tengah tersenyum lebar tanpa dosa disampingku.
Aku mengusap wajahku kasar. Oh!...sungguh, harusnya aku sudah menduga ini. Hey! Ini musim semi, ditambah ini tanggal dimana bunga sakura sedang cantik-cantiknya dan juga ini akhir pekan, bagaimana mungkin aku bisa melupakan fakta bahwa
KAMU SEDANG MEMBACA
You are not my Destiny ✔
FanficAku selalu terbangun dengan bekas air mata di pipiku, hatiku terasa sakit seperti ada sesuatu yang tertinggal. Mimpi itu berputar seperti film lama, namun seseorang berkata "mungkin itu ingatan yang tertinggal dari kehidupanmu sebelumnya". - - Jadi...