Twenty One

177 31 2
                                    

Twenty One

"Please dont be afraid i will cry your tears, share you sweet sad tears. Please dont look away, take my hand in your hand. Coming rest my dear, i will always be here."

Always Be Here - Ha Jin

"Aku akan melepaskan talinya jika kamu diam." Nathan menatap tajam Raka, sama sekali tidak terpengaruh dengan ekspresi dingin di wajah Raka.

Jelas Raka sangat kesal dengan kelakuan Nathan yang berani-beraninya mengikat kedua tangan dengan tali hanya karena dirinya tidak bisa diam.

"Dia nggak ada di sini. Riana jauh dari sini."

Seketika tubuh Raka berubah kaku mendengar nama ibu kandungnya disebut. Bukan hanya ekspresi wajahnya saja yang dingin namun mata kelabunya juga. "Jangan. Pernah. Sebut. Nama. Dia. Didepanku."

Nathan menghela napas. "Sampai kapan kamu akan seperti ini, Raka? Kamu sudah dewasa, bisakah kamu menghilangkan traumamu terhadap mereka?"

Kepala Raka meneleng. "Melupakan? Kamu pikir segampang itu?" Dia membuka suara, menelan ludah susah payah. "Luka yang dia berikan ... ketika dia menatap Adam ... Bahkan aku nggak pernah mendapatkan tatapan seperti itu dari dia. Aku ini anaknya, anak kandungnya! Tapi kenapa dia malah membenciku? Apa salahku? Apa hanya karena aku anak haram?"

Nathan tidak langsung membalas perkataan Raka, dia melihat ke sekitar. Wajar bagi Raka jika tidak bisa menghilangkan traumanya sampai sekarang, luka yang diberikan Riana terlalu dalam hingga melukai mental Raka.

Kalau saja Raka orang biasa, mungkin sekarang ini hidupnya sudah hancur.

Andai saja Raka tidak memiliki Rachel, mungkin saja dia sudah menyerah sebelas tahun lalu.

"Kenapa kamu nggak maafin mereka saja saat kamu bertemu dengan mereka?"

"Kenapa aku harus memaafkan orang-orang yang bahkan nggak mengenaliku sebelumnya? Kenapa aku harus memaafkan mereka?"

"Sebelum berpisah seminggu lalu, Rachel bilang pada Dave kalau kamu harus berdamai dengan masa lalu kamu, nggak harus memaafkan tapi menerima mereka."

Raka langsung terdiam, entah sudah berapa lama dia tidak bertemu dengan Rachel. Seminggu lebih mungkin, semenjak pulang dari Jepang. Lelaki itu menggersah, dia pikir liburan ke Jepang akan membuat otaknya tenang namun rupanya dia salah besar, bertemu Revan, bertemu dengan keluarganya, semua itu diluar dugaan. Apalagi sampai penyakitnya kambuh, beruntung waktu itu Aidan dan Allen sigap menantinya di lobi hotel.

Melihat Raka diam saja, Nathan menghela napas seraya memasukkan kedua tangan ke dalam jas putih yang dia kenakan. "Aku pergi dulu. Jangan ke mana-mana, kondisimu masih lemah."

Lagi-lagi Raka hanya diam tertunduk. Pintu kembali dibuka, jelas bukan Nathan atau Reina, pasalnya tubuh mereka tidak sependek itu.

"Papa ..." Suara cempreng khas anal kecil terdengar, Noah. Anak itu berjalan menghampiri Raka dengan wajah murung. "Papa nggak bakalan pergi, kan?" Noah bertanya pelan, kedua mata hitamnya menatap Raka sedih.

Raka mengerutkan kening bingung. "Pergi ke mana? Kamu mau ketemu sama Rachel?"

Noah menundukan kepala dengan wajah merah menahan tangis. "Tadi Noah denger suara Om Nathan."

Raka sepenuhnya menghadap Noah seraya menatap anak itu serius. "Apa yang kamu denger? Apa Om Nathan berpikir kalau Papa akan pergi?"

Noah mengangguk pelan. "Katanya kondisi Papa bakalan drop kalau nggak segera dioperasi. Katanya juga Papa bisa meninggal kalau nggak dioperasi."

Masquerade AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang