Prolog

1K 99 9
                                    

"Mau dengar sebuah cerita?" Seorang lelaki jangkung bermata kelabu bertanya pada seorang anak kecil yang sibuk menggambar sesuatu di atas buku gambar, tanpa permisi lelaki itu duduk di samping sang anak lalu menatap ke atas langit cerah.

"Cerita apa?" Sang anak menatap lelaki itu bingung, enggan meninggalkan crayon dan buku gambarnya.

Lelaki itu tersenyum kecil. "Cerita tentang seorang anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya." Senyumnya semakin melebar saat anak kecil itu berhenti menggambar dan menatap mata kelabunya dengan tatapan takut. "Ceritanya dimulai ... pada zaman dahulu kala. Ada seorang anak kecil, dia tinggal di istana besar, dengan pakaian bagus, makanan enak dan banyak pelayan. Tapi anak itu tidak seperti anak kecil kebanyakan, karena otaknya terlalu jenius, dia tidak bisa bergaul dengan banyak orang termasuk saudara kembarnya sendiri."

Anak kecil itu mengerjap, sepenuhnya menatap lelaki dewasa di hadapannya.
"Karena kesepian, dia menjadi nakal dengan harapan bisa menarik perhatian semua anggota keluarganya."

"Kenapa anak kecil itu kesepian?" Sang anak bertanya dengan penasaran. "Paman bilang anak itu punya banyak pelayan, saudara kembar juga. Harusnya dia tidak kesepian."

Lelaki bermata kelabu itu tertawa. "Benar. Tapi tidak selamanya dikelilingi banyak orang tidak membuatmu kesepian. Kebanyakan orang memilih mengabaikan anak kecil itu, tidak ada satu orang pun yang mau mendekati dia. Mungkin hanya ibunya yang mengerti dia, sebab itu dia sangat dekat dengan ibunya meski pada akhirnya ibunya juga meninggalkan anak kecil itu demi anak lain.

"Karenanya, anak itu tumbuh dengan sifat keras. Dia menjadi dingin, cenderung tidak berperasaan, dan sedikit menakutkan. Karena dia sangat cerdas, anak itu menjadi sombong lagi-lagi dengan harapan sang ayah melihat keberhasilannya. Sayangnya itu hanya sebuah harapan. Meski begitu, dia memiliki hati yang lembut dan sudah berjanji pada sang ibu, maka dia tetap bersikap hormat pada sang ayah meski sang ayah mengabaikan dan tidak peduli pada anak itu."

Anak kecil itu mengerjapkan mata. "Apa anak itu bahagia? Kenapa dia tidak sedih padahal kata Paman dia kesepian?" Anak kecil itu merengut. "Tinggal sendirian itu tidak menyenangkan. Apalagi ibu dan ayahnya meninggalkan dia."

Lelaki bermata kelabu itu merenung. "Dia sedih, tentu saja. Hanya saja dia tidak pernah memperlihatkannya pada siapa pun, dia tidak ingin terlihat lemah." Dia menghela napas panjang. "Ketika anak itu sudah remaja dan meraih banyak prestasi, dia kembali mencari keluarga yang mengabaikannya, berusaha mendekat, tetap bertahan meski dia ditolak berulang kali, baginya keluarga adalah tempat dia pulang, meski menyakitkan, tetap saja baginya itu adalah rumahnya.

"Sampai kemudian anak itu jatuh cinta dan menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah dia pikirkan; cinta. Dia bisa mendekati keluarganya dengan cinta bukan kecerdasannya. Dan dia berhasil."

Mata anak kecil itu berbinar. "Anak itu berbaikan dengan keluarganya karena jatuh cinta?" tanyanya tidak mengerti.
Lelaki itu mengangguk. "Hem, dia mulai bahagia, dia tidak kesepian lagi. Dia punya sahabat dan perempuan yang selalu ada untuknya. Ayah dan saudaranya tidak lagi mengabaikan dia, lalu ... terjadilah peristiwa itu." Mata lelaki itu nyalang. "Karena cintanya pada sang ibu, tidak peduli jika sang ibu sudah menyakitinya, anak itu tetap berlari menyelamatkan sang ibu tanpa memikirkan dirinya akan terluka."

Anak kecil itu mengerjap. "Apa yang terjadi pada anak itu?"

"Dia tertabrak mobil sedangkan sang ibu selamat, sebelum anak itu tertidur dia senang karena berhasil membuat sang ibu melihatnya sebagai anak. Sayangnya, semua orang menganggap anak itu meninggal, padahal sebenarnya dia tidak meninggal. Dia masih hidup. Tuhan memberinya kesempatan kedua. Sekarang ini dia hanya sedang istirahat."

Anak kecil itu menghela napas lega. "Aku tahu, dia pasti bangun lalu kembali ke keluarganya dan hidup bahagia."

Lelaki itu tersenyum kecil. "Yahh, andai hidup sesimple itu. Pasti menyenangkan."

"Tapi, Paman. Siapa nama anak kecil itu? Paman beli bukunya di mana?"

Lelaki itu tertawa. "Harga bukunya sangat mahal, ayahmu tidak akan mampu membeli bukunya."

Anak kecil itu merengut.

Tawa lelaki itu semakin kencang, mata kelabunya terlihat bersinar, dia mengusap kepala anak kecil itu. "Ceritanya masih belum selesai, malah masih panjang. Nanti Paman cerita lagi tentang anak itu kalau dia sudah bangun dari tidur panjangnya."

"Oke."

Lelaki itu hanya tersenyum, menatap ke atas langit yang cerah. "Ngomong-ngomong nama anak kecil itu. Raka. Raka Alexander."

***






Masquerade AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang