^Aalona Brielle^
______________________________________Dengan setia Gina dan Lisa menemani Aalona yang masih berkabung di kamarnya. Entah sudah berapa lama mereka duduk disebelah Aalona. Mengusap lembut punggung sempit perempuan rapuh itu.
Gina dan Lisa bisa merasakan bagaimana kehilangannya Aalona atas kematian ibunya, Liona. Hanya jarak beberapa tahun ia kehilangan ayahnya, kini Aalona merasakan kehilangan ibunya.
Dua orang yang paling berharga dihidupnya sudah pergi menghadap Pencipta, meninggalkannya sendirian tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Mengapa takdir membawa Aalona merasakan sakitnya kehilangan ini?
Tolong biarkan Aalona bahagia...
"Gin, Lis..."
Gina dan Lisa mengangkat pandangannya cepat kepada Aalona yang baru saja memanggil mereka. Mereka melihat wajah sembab Aalona dengan prihatin.
"Kenapa, Na?" tanya Lisa lembut seraya mengusap wajah Aalona yang penuh jejak air mata.
"Kalian pulang aja. Udah lama banget kalian nemenin aku disini," ucap Aalona.
"Nggak apa-apa, Na. Kita nginap disini nemenin lo," balas Gina.
"Aku nggak apa-apa kok sendirian disini."
"Enggak, Na. Kita tetap disini nemanin lo."
Aalona menghela napas, "yaudah, terserah kalian aja."
Tok...tok...tok
"Aalona..."
Pintu kamar Aalona terbuka, menampakkan seorang wanita dengan pakaian putih. Aalona mendongak memandang Jihan yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Sayang," Jihan berlutut didepan Aalona. Ia mengusap rambut Aalona yang sedikit berantakan dengan lembut. "Na, ikhlas ya sayang. Mama kamu pasti nggak mau lihat kamu sedih kaya gini."
"Kenapa Mama secepat ini pergi ninggalin Ona, Tan? Ona bahkan belum bahagiain Mama," Aalona terisak dengan kelopak mata yang penuh air mata.
"Maafin, Tante ya... Kalau aja Mama kamu nggak Tante suruh bawain koper Tante ke bawah, pasti Mama kamu masih hidup. Maafin Tante, Na..."
Aalona menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Jihan yang merasa bersalah itu. Ibunya meninggal bukan karena kesalahan Jihan, mungkin memang takdirnya seperti itu. Walaupun kematian Liona cukup tragis, jatuh dari tangga yang cukup tinggi.
"Enggak, Tan. Tante nggak salah, aku juga nggak akan nyalahin Tante. Jangan merasa bersalah, Tan." Ucap Aalona memegang tangan Jihan.
"Mulai sekarang kamu tinggal bareng Tante, ya. Tolong jangan nolak Na, Tante mau nebus kesalahan Tante. Tante akan menanggung segala kebutuhan dan keperluan kamu."
"Nggak usah—"
"Jangan nolak, Aalona. Tante sama Om Riko juga nggak bisa biarin kamu tinggal sendiri disini. Tante juga sepi di rumah nanti. Mama kamu udah nggak ada. Biasanya kalau Om Riko keluar kota atau keluar negeri, pasti Mama kamu nemenin Tante. Mau ya..."
Jihan menatap Aalona penuh harap. Begitu juga dengan Gina dan Lisa yang sejak tadi mengangguk setuju dengan perkataan Jihan.
"Mau ya, Na. Kita juga nggak tega kalau kamu sendirian di rumah. Lebih baik kamu tinggal bareng Tante Jihan," ujar Gina.
Aalona memandangi mereka bertiga secara bergantian. Ekspresi ketiganya yang sama-sama berharap membuat Aalona merasa tidak enak. Ia kemudian menunduk sesaat lalu menghela napas kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aalona [Revisi]
Teen FictionHidup Aalona yang awalnya baik-baik saja bersama ibunya berubah setelah seorang laki-laki membuat masa remaja Aalona hancur. Dirinya 'rusak' saat usianya yang baru menginjak 17 tahun. *** Aalona tidak pernah menyangka jika masa-masa SMA-nya akan b...