^Aalona Brielle^
______________________________________Ketiganya terduduk lesu, diam, memikirkan ucapan itu yang masih terngiang dalam pikiran mereka.
Apakah seorang ibu dan ayah sanggup mengantarkan putranya tinggal di lantai dingin sebuah penjara? Pasti tidak.
Jeffry dan Linda tidak tahu harus bagaimana. Itu sangat sulit. Tidak mungkin mereka bisa hidup tenang dengan Louis yang berada di penjara. Memikirkannya saja sudah membuat Linda begitu tidak sanggup.
"Louis Louis, kalau aja kamu nggak pernah lakuin itu..."
Linda mengusap wajahnya yang penuh jejak air mata. Dirinya benar-benar bingung dan gundah.
"Kenapa kamu, Louis? Aalona anak baik. Kalau kamu nggak kaya gitu, pasti kita nggak bakal kaya sekarang ini,"
Jeffry memukul pelan sofa yang ia duduki. Sangat menyesal dan kecewa membiarkan Louis tinggal sendirian tanpa pengawasan di ibukota.
"Apa yang harus kita lakuin, Pa? Nggak mungkin Louis di penjara. Dia udah kelas 12, sebentar lagi tamat. Gimana masa depannya nanti?" ucap Linda bertanya pada Jeffry.
"Papa juga nggak tau, Ma. Papa bingung, Papa marah sama Louis dan diri Papa sendiri. Coba aja Papa nggak izinin Louis sekolah dan tinggal sendiri disini, pasti ini semua nggak akan pernah terjadi."
Louis hanya bisa tertunduk mendengar semua yang diucapkan oleh kedua orangtuanya. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Tidak tahu harus berbuat apa. Pandangannya sayu, tubuhnya lesu.
Sejak kembalinya dari rumah Riko dan Jihan, tak sedikitpun Louis mengeluarkan suaranya. Dirinya sendiri pun menyesali segala perbuatan bejatnya itu. Dia tak tahu mengapa bisa dia berbuat hal buruk seperti itu. Entah hasutan, dorongan, dan bisikan dari siapa Louis tega merusak kehormatan seorang gadis baik seperti Aalona.
Louis memejamkan kedua matanya, menarik napas dalam-dalam, menahan kesedihannya setelah mengucapkan,
"Louis bersedia masuk penjara, Pa, Ma. Louis pantas untuk itu."
Jeffry dan Linda menoleh dan terkejut mendengar ucapan Louis barusan.
****
Senyuman lebar tampak diwajahnya. Bersama cairan bening yang memenuhi kelopak matanya, Aalona memejam dan menghela napas lega.
Tak berselang lama, senyuman itu lantas menghilang kala Jihan masuk menghampirinya.
"Aalona, maafin Tante ya sayang. Bukannya Tante nggak mau—"
"Tante, nggak perlu minta maaf. Tante dan Om nggak salah kok. Aku tau dan ngerti, kalau keadaan Tante sama Om lagi di ujung. Dan aku nggak mau menambah beban," Aalona memotong kalimat Jihan.
"Waktu itu Mama pernah cerita, kalau Om Riko lagi ada masalah sama perusahaannya, sedang goyah. Aku nggak mau menyulitkan kalian. Tante jangan cemas, aku bakal baik-baik aja kok tinggal bareng mereka. Mereka nggak bakal jahatin aku,"
Jihan mengusap air mata yang menetes di pipinya. Menatap Aalona penuh kesedihan, seperti merasakan semua yang Aalona lalui.
Aalona gadis kuat. Jihan merasa tidak percaya, gadis seperti Aalona mendapatkan kehidupan yang begitu menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aalona [Revisi]
Teen FictionHidup Aalona yang awalnya baik-baik saja bersama ibunya berubah setelah seorang laki-laki membuat masa remaja Aalona hancur. Dirinya 'rusak' saat usianya yang baru menginjak 17 tahun. *** Aalona tidak pernah menyangka jika masa-masa SMA-nya akan b...