Prolog

52 8 4
                                    

Happy reading❤



"Rin, tolonglah bantu gue." Adam terus berjalan di belakang Arin yang sedang sibuk menunduk menatap kertas-kerta yang ada di tangannya, menarik-narik rambut Arin pelan.

Arin berdecak, menghentikan langkah membuat Adam refleks ikut menghentikan langkahnya. Arin berbalik, menatap jengah ke arah Adam.

"Lo kalau suka usaha sendirilah. Cupu amat!"

Adam berdecak, menatap kesal ke arah Arin. "Lo nggak tau seberapa usahanya gue, tapi gue tetep aja di tolak. Cara terakhir yang gue harapin yaitu minta bantuan, lo."

Arin melengos pelan, memeluk setumpukan kertas di tangannya, memandang pemuda di hadapannya yang masih menatapnya penuh harap. Diam-diam Arin mengumpati Tara, sahabatnya itu kenapa nggak nerima nih cowok aja sih. Kasihan juga sih, Adam ini udah ngejer-ngejer Tara dari empat bulan lalu, tapi selalu aja di cuekin.

Awalnya Arin dan Adam tak pernah mengobrol bersama. Arin pikir Adam yang tiba-tiba menegurnya hanya berniat mengakrabkan diri, hampir dua tahun satu kelas, untuk pertama kalinya Adam menyapanya. Tapi, ternyata Arin salah, Adam punya maksud lain.

"Rin, pleaselah." Arin terlonjak kaget, lamunan cewek itu buyar, jadi menatap lurus ke wajah pemuda itu.

Arin menghela napas kasar. "Sorry, gue nggak bisa," ujar Arin kemudian berbalik, bersiap melangkah pergi sebelum suara Adam kembali terdengar, membuatnya refleks berbalik, melotot pada pemuda itu.

"Yaudah kalau nggak mau, lo nggak bakalan bisa ikut olim."

"Maksud lo apa? Siapa lo ngatur-ngatur, emang sekolah ini punya bapak lo?" cerca Arin, menatap sebal cowok di hadapannya.

"Emang bapak gue yang punya sekolah," jawab Adam, santai.

Satu lagi fakta seorang Adam, ia adalah anak kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah SMA Cendana.

Arin mengerjap, jadi terdiam. Gadis itu mendengus kasar, menatap sengit pada Adam.

"Lo jangan se-enaknya, dong!"

"Gue minta bantuan baik-baik lo nggak mau, sih."

"Kalau lo udah berusaha terus Tara tetap cuekin lo, lo harusnya tau diri dong. Udah di tolak juga," ujar gadis itu pedas. Kini Adam yang terdiam, tapi tak lama mendengus kasar merasa harga dirinya baru saja di injak-injak.

"Gue pasti-in lo nggak bisa ikut olim. Liat aja."

Adam berbalik, bersiap melangkah pergi. Arin yang melihat itu seketika melotot, jadi panik sendiri. Ikut olimpiade sudah seperti hobinya, dari SD hingga saat ini, ia yang akan memajukan badan lebih dulu jika guru-guru mengumumkan siapa yang akan mewakili sekolah mereka.

Bukan tanpa alasan, ego gadis itu terlalu tingga, ia tidak suka jika dirinya di bandingkan oleh Mamanya dengan Kakak tirinya. Harga dirinya terasa terluka, dan ia benci hal itu.

Ia tidak akan membiarkan hak nya jadi terenggut begitu saja.

"Eh, tunggu," tahan Arin, panik.

"Kenapa? Berubah pikiran?" tanya Adam, tersenyum miring.

Arin diam sejenak, kemudian menatap tajam ke arah cowok itu.

"Nggak. Bodo amat gue nggak peduli."

Adam mengangguk. "Oke."

Pemuda itu kembali berbalik, melangkahkan kakinya pergi dari sana. Arin terdiam lama, memandang punggung Adam yang perlahan mulai menjauh, gadis itu menghela napas pelan.

Demi olim, teriaknya dalam hati, kemudian berlari mengejar Adam.

"Tunggu," cegatnya kini sudah berdiri di depan Adam. Adam mengangkat alis menatap gadis itu bertanya.

Arin menghela napas sekali lagi. "Oke, gue setuju. Gue akan bantu lo deket sama Tara."

Adam mengulas senyum lebar, mengangkat tangannya, menepuk-nepuk kepala Arin pelan.

"Good."

Haiii, selamat datang di cerita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haiii, selamat datang di cerita ini

Nih cerita dah lama banget di pendam karena fokus sama yang sebelah dulu, akhirnya terpublis juga hehehe.

HOPE (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang