Malam itu Arion menutup café lebih awal dari biasanya. Para karyawan sempat kebingungan, tetapi ekspresi tak santai Arion mengurungkan niat mereka untuk bertanya dan segera pamit pulang. Semua terjadi karena seharian itu pikirannya sedang tak fokus. Dia mendapat kabar dari sang mama, kalau Kenan sudah berhasil mengundang Tere ke acara makan malam weekend besok. Hal tersebut tentu saja membuat Bu Lidya semakin gencar meneror dan membuat Arion frustrasi, mengingat waktu tersisa tinggal tiga hari lagi. Dia pun sesekali melempar pandang ke arah toko ATK dari depan café. Dia tampak gelisah dan berpikir keras. Beberapa motor pelanggan yang terparkir menandakan toko masih ramai. Tidak mungkin jika Arion tiba-tiba datang dan mengundang Andin saat ini. Perhatian gadis itu pasti tidak akan fokus padanya. Bisa saja dia akan ditolak karena Andin sibuk. Bisa saja diterima, asal Arion cepat pergi dan tak mengganggunya bekerja.
"Cuma undangan makan malam, Ar. Bukan lamaran!" Suara di kepalanya berseru, meyakinkan.
"Emang, tapi kalau udah sama mama, urusannya bakal ke sana nanti." dia menggerutu.
"Bilang aja nggak pede!" suara di kepalanya terdengar lagi. "Lagian apa yang lo khawatirin, sih? Lo kece, lulusan master di luar negeri, pewaris kerajaan kuliner Parviz. Kurang bahan apalagi coba, buat deketin dia?"
"Kurang sholeh gue, mah." Sahutnya lagi.
Arion terus saja bergumul dengan pikirannya. Dia pun mondar-mandir tak tenang. Bolak-balik duduk di undakan teras cafe lalu berdiri, berjalan gelisah di trotoar, menggaruk kepala dan bersedekap sambil tak mengalihkan pandangannya dari toko seberang. Beberapa menit menggulir ponsel guna menghalau rasa nervous, tetapi tak ada satu pun hal menarik di dunia maya dan dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana. Hingga beberapa saat berikut, tak terasa kalau motor yang terparkir di depan toko sudah tak ada. Tersisa motor matic berwarna merah milik Andin di halaman samping.
Kemunculan Andin yang siap menutup toko, menghentikan pikiran-pikiran aneh Arion. Pemuda itu segera bangkit. Dia pun menyeberang jalan yang telah sepi dan seketika menyapa gadis itu.
"Hei, baru tutup?" sapa Arion menghalau rasa grogi yang mendadak muncul.
"Eh, Mas Arion." Andin mengurungkan niatnya untuk berjinjit menarik rolling door di atas.
"Sini saya bantu." Arion mengangkat tangannya meraih pegangan rolling door. Dengan sekali tarikan, pintu itu menutup sempurna.
Andin pun segera berjongkok dan memutar kunci. Klik! Klik!
Arion yang masih menahan pintu, melepas pegangannya setelah memastikan Andin selesai.
Mereka kini berdiri berhadapan. Andin yang setinggi mulut Arion, menatap penuh terima kasih pada pemuda yang selalu sigap membantunya itu. Dia tidak tahu harus membalas dengan apa segala pertolongan yang diberikan Arion padanya. "Terima kasih, Mas." Gadis itu tetap menatapnya. "Saya jadi ngerepotin terus."
Arion kembali salah tingkah. Wajahnya merona ditatap sedekat itu oleh sang pujaan hati. "Ng... nggak. Kamu nggak pernah ngerepotin, kok. Justru saya yang sering ngerecokin kamu."
Andin menggeleng.
"Ini saat yang tepat, Ar. Ayo utarakan ajakan itu. Mumpung kalian berdua aja." Suara di kepala Arion muncul lagi.
"Gimana kalau dia nolak?" Suara yang lainnya menjawab.
"Ya elah! Belum juga dicoba udah pesimis. Ayo hajar!"
"Oke, sekarang atau nggak sama sekali."
"Ehm... Andin..."
"Iya, Mas." Andin memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-KU & A-MU
RomanceArion (28) tahun. Pemuda santai yang harus resign dari pekerjaannya demi menuruti keinginan sang papa menjadi penerus bisnis kuliner keluarga. Kegiatan saat ini: mengurus cafe di sebuah gang lingkungan kampus. Andin (25) tahun. Gadis berhijab, lema...